Sampai dengan akhir April 2017, utang pemerintah Indonesia sudah mencapai Rp 3.667,41 triliun. Nominal angka yang tidak sedikit.
Utang sebenarnya bukan barang baru, artinya tidak hanya terjadi pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Utang sudah ada sejak masa pemerintahan sebelum-sebelumnya, meski tak banyak orang yang menyadari.
Demikian dikutip detikFinance, Rabu (14/7/2017) berdasarkan data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Bagaimana perbandingan tambahan utang era Jokowi dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Dalam kurang lebih 2,5 tahun pemerintahan Jokowi, jumlah utang pemerintah Indonesia bertambah Rp 1.062 triliun. Rinciannya yaitu pada 2015 bertambah Rp 556,3 triliun dan 2016 bertambah Rp 320,3 triliun, lalu pada 2017 dimungkinkan utang bertambah Rp 379,5 triliun menjadi Rp 3.864,9 triliun.
Rasio utang terhadap PDB masih bergerak pada level yang aman, yaitu pada kisaran 27-28%.
Tambahan utang pada 2015 memang sangat besar. Penyebabnya adalah target pajak yang dipasang terlalu tinggi dibandingkan 2014, sementara satu sisi ekonomi melambat. Belanja yang sudah dikucurkan sangat besar harus ditutup dengan penerbitan utang.
Pada periode 2016, hal yang sama hampir saja terulang. Untung saja pada pertengahan tahun, pemerintah memangkas belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah. Sehingga utang tidak bertambah terlalu banyak.
Sementara itu, pemerintahan SBY juga melakukan penarikan utang sepanjang 10 tahun lamanya. Walapun tambahan setiap tahunnya tidak terlalu besar.
Bila melihat data lima tahun terakhir pemerintahan SBY, yaitu 2010 hingga 2014, maka tambahan utangnya hampir sama dengan yang sudah ditarik oleh pemerintahan sekarang.
Totalnya adalah 1.019 triliun. Rinciannya adalah pada 2010 sebesar Rp 91 triliun, pada 2011 sebesar Rp 127,29, pada 2012 sebesar Rp 169,7 triliun, pada 2013 tambah Rp 379,8 T dan 2014 tambah lagi sebesar Rp 233,3 triliun.
Rasio utang terhadap PDB masih bergerak pada level yang lebih rendah, yaitu pada kisaran 22-24%.
Kondisi fiskal pada pemerintahan SBY dibebani oleh subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Ketika pemerintah menahan harga agar tidak naik, maka risikonya adalah subsidi BBM membengkak. Kondisi tersebut harus ditutupi oleh penarikan utang. (detik)
0 Komentar