Di tengah niatan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) untuk segera melaksanakan reforma agraria untuk mengatasi ketimpangan ekonomi masyarakat kecil dan kesenjangan kepemilikan lahan melalui redistribusi lahan, PT Langkat Nusantara Kepong (LNK) kembali berulah.
Tidak puas dengan menggusur dan menghancurkan 554 hektar lahan petani di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (18/11/2016), hari ini (27/03/2017) PT ini berencana untuk menghancurkan 70 rumah-rumah milik petani.
Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia Zubaidah menegaskan, hari itu, Senin, 27/03/2016, ribuan personil yang berasal dari Satpol PP, Pemadam Kebakaran, hingga Brimob beserta alat berat sudah meratakan rumah petani di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
“Tindakan PT LNK ini tentu saja bertolak belakang dengan perintah Presiden Jokowi untuk segera melaksanakan reforma agraria, meredistribusi lahan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi. Karena Desa Mekar Jaya ini sebelumnya telah didaftarkan menjadi kampung reforma agraria,” tegas Zubaidah.
Zubaidah menjelaskan, konflik ini berawal ketika PTPN II Kebun Gohor Lama mulai mengklaim lahan yang dikuasai oleh petani sejak tahun 1952.
Pada tahun 1952, Masyarakat Paya Redas membuka lahan di daerah Paya Redas dan Paya Kasih sekitar 1.000 hektar tanah untuk tanaman padi sawah dan darat. Pada tahun tersebut dibuat satu perkampungan bernama Paya Redas dengan TK Abdul Hamit sebagai Kepala Kampung medio tahun 1954-1964.
Selanjutnya, pada akhir 1960-an lahan diklaim oleh Perusahaan PTP II/PTPN II Gohor Lama dengan menggusur habis tanaman dan rumah penduduk sekitar Paya Redas lebih kurang 500 hektar.
Setelah itu petani terus menerus mengalami penggusuran demi penggusuran sampai detik ini yang kemudian diwariskan kepada PT LNK, perusahaan patungan dari PTPN II dan Kuala Lumpur Kepong Plantation Holdings Bhd (KLKPH), dimana 60% saham kepemilikan dikuasai oleh perusahaan asal Malaysia tersebut dan 40% sisanya untuk PTPN II.
Penggusuran yang dilakukan merupakan upaya perusahaan untuk mengusir petani dari tanah yang ditinggali dan dikelola selama bertahun-tahun secara turun temurun.
“PT LNK mengklaim kalau yang menguasai lahan dan pemilik rumah adalah penggarap yang berasal dari luar daerah. Padahal sejatinya pemilik lahan dan rumah adalah keturunan dan ahli waris langsung yang sudah tinggal di sana secara turun temurun,” papar Zubaidah.
Zubaidah memaparkan, berdasarkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR Sumatera Utara yang dihadiri semua pihak yang terlibat konflik pada 30/01/2017, Ketua Komisi A DPRD Sumut F.L. Fernando Simanjuntak sudah memerintahkan pihak LNK dan PTPN II untuk menghadirkan kondisi yang baik di tengah masyarakat. Fernando menyampaikan, para petani sudah kehilangan mata pencahariannya. Lantaran, tanaman di lahan mereka sudah digusur.
“Kalau bisa tentara dan polisi jangan terlalu banyak di situ untuk mengamankan hal-hal yang itu aja. Masa masyarakat kecil harus digituin. Saya pikir itu tidak etis. Tidak bisa karena diklaim oleh PTPN 2 ataupun LNK, mereka menghilangkan hajat hidup orang banyak,” kata Fernando dalam RDP tersebut.
Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Kabupaten Langkat Suriono menegaskan, secara hukum tanah dan rumah yang sudah diratakan itu masih dalam kondisi status quo.
“Secara hukum pengadilan belum memutuskan mengenai status hukum lahan dan rumah milik petani, walau kami punya bukti-bukti yang menguatkan. Ini berarti siapa pun tidak berhak melakukan kegiatan di atas lahan, apalagi sampai menggusur dan menghancurkan rumah kami. Hingga pukul 14.00 WIB siang ini (Senin, 27/3), sudah 29 rumah petani yang rata dengan tanah,” tegas Suriono.
Untuk itu Suriono mendesak agar PT LNK menarik semua personil brimob, satpol PP, dan lainnya beserta alat beratnya dari atas lahan petani. Suriono juga meminta pihak LNK menghargai hukum dan instruksi Presiden Jokowi tentang pelaksanaan reforma agraria, bukan malah bertindak mengangkangi hukum dan menghambat reforma agraria dengan menghancurkan hajat hidup, sumber penghidupan petani kecil.
“Pihak BPN atau Kementerian Agraria sendiri belum mengeluarkan putusan mengenai konflik lahan ini, mengapa PT LNK berani mengangkangi hukum di negeri ini ? Apa masih belum puas mereka menghilangkan sumber penghidupan kami, meratakan dan menggusur lahan kami, dengan berusaha meratakan rumah-rumah kami,” tegasnya.
Hal senada kembali ditegaskan Ketua Umum SPI Henry Saragih. Ia menyampaikan lahan yang bersengketa dan sudah dikuasai petani sejak turun temurun ini adalah bagian dari lokasi kampung reforma agraria yang sudah didaftarkan di Kementerian Agraria (Badan Pertanahan Nasional).
“Tindakan PT LNK ini secara langsung sudah melanggar instruksi Presiden Jokowi tentang percepatan reforma agraria yang kembali ditekankan Presiden di Mandailing Natal, 25 Maret yang lalu,” tambah Henry.(jhon)
Tidak puas dengan menggusur dan menghancurkan 554 hektar lahan petani di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (18/11/2016), hari ini (27/03/2017) PT ini berencana untuk menghancurkan 70 rumah-rumah milik petani.
Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia Zubaidah menegaskan, hari itu, Senin, 27/03/2016, ribuan personil yang berasal dari Satpol PP, Pemadam Kebakaran, hingga Brimob beserta alat berat sudah meratakan rumah petani di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
“Tindakan PT LNK ini tentu saja bertolak belakang dengan perintah Presiden Jokowi untuk segera melaksanakan reforma agraria, meredistribusi lahan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi. Karena Desa Mekar Jaya ini sebelumnya telah didaftarkan menjadi kampung reforma agraria,” tegas Zubaidah.
Zubaidah menjelaskan, konflik ini berawal ketika PTPN II Kebun Gohor Lama mulai mengklaim lahan yang dikuasai oleh petani sejak tahun 1952.
Pada tahun 1952, Masyarakat Paya Redas membuka lahan di daerah Paya Redas dan Paya Kasih sekitar 1.000 hektar tanah untuk tanaman padi sawah dan darat. Pada tahun tersebut dibuat satu perkampungan bernama Paya Redas dengan TK Abdul Hamit sebagai Kepala Kampung medio tahun 1954-1964.
Selanjutnya, pada akhir 1960-an lahan diklaim oleh Perusahaan PTP II/PTPN II Gohor Lama dengan menggusur habis tanaman dan rumah penduduk sekitar Paya Redas lebih kurang 500 hektar.
Setelah itu petani terus menerus mengalami penggusuran demi penggusuran sampai detik ini yang kemudian diwariskan kepada PT LNK, perusahaan patungan dari PTPN II dan Kuala Lumpur Kepong Plantation Holdings Bhd (KLKPH), dimana 60% saham kepemilikan dikuasai oleh perusahaan asal Malaysia tersebut dan 40% sisanya untuk PTPN II.
Penggusuran yang dilakukan merupakan upaya perusahaan untuk mengusir petani dari tanah yang ditinggali dan dikelola selama bertahun-tahun secara turun temurun.
“PT LNK mengklaim kalau yang menguasai lahan dan pemilik rumah adalah penggarap yang berasal dari luar daerah. Padahal sejatinya pemilik lahan dan rumah adalah keturunan dan ahli waris langsung yang sudah tinggal di sana secara turun temurun,” papar Zubaidah.
Zubaidah memaparkan, berdasarkan rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR Sumatera Utara yang dihadiri semua pihak yang terlibat konflik pada 30/01/2017, Ketua Komisi A DPRD Sumut F.L. Fernando Simanjuntak sudah memerintahkan pihak LNK dan PTPN II untuk menghadirkan kondisi yang baik di tengah masyarakat. Fernando menyampaikan, para petani sudah kehilangan mata pencahariannya. Lantaran, tanaman di lahan mereka sudah digusur.
“Kalau bisa tentara dan polisi jangan terlalu banyak di situ untuk mengamankan hal-hal yang itu aja. Masa masyarakat kecil harus digituin. Saya pikir itu tidak etis. Tidak bisa karena diklaim oleh PTPN 2 ataupun LNK, mereka menghilangkan hajat hidup orang banyak,” kata Fernando dalam RDP tersebut.
Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Cabang (BPC) SPI Kabupaten Langkat Suriono menegaskan, secara hukum tanah dan rumah yang sudah diratakan itu masih dalam kondisi status quo.
“Secara hukum pengadilan belum memutuskan mengenai status hukum lahan dan rumah milik petani, walau kami punya bukti-bukti yang menguatkan. Ini berarti siapa pun tidak berhak melakukan kegiatan di atas lahan, apalagi sampai menggusur dan menghancurkan rumah kami. Hingga pukul 14.00 WIB siang ini (Senin, 27/3), sudah 29 rumah petani yang rata dengan tanah,” tegas Suriono.
Untuk itu Suriono mendesak agar PT LNK menarik semua personil brimob, satpol PP, dan lainnya beserta alat beratnya dari atas lahan petani. Suriono juga meminta pihak LNK menghargai hukum dan instruksi Presiden Jokowi tentang pelaksanaan reforma agraria, bukan malah bertindak mengangkangi hukum dan menghambat reforma agraria dengan menghancurkan hajat hidup, sumber penghidupan petani kecil.
“Pihak BPN atau Kementerian Agraria sendiri belum mengeluarkan putusan mengenai konflik lahan ini, mengapa PT LNK berani mengangkangi hukum di negeri ini ? Apa masih belum puas mereka menghilangkan sumber penghidupan kami, meratakan dan menggusur lahan kami, dengan berusaha meratakan rumah-rumah kami,” tegasnya.
Hal senada kembali ditegaskan Ketua Umum SPI Henry Saragih. Ia menyampaikan lahan yang bersengketa dan sudah dikuasai petani sejak turun temurun ini adalah bagian dari lokasi kampung reforma agraria yang sudah didaftarkan di Kementerian Agraria (Badan Pertanahan Nasional).
“Tindakan PT LNK ini secara langsung sudah melanggar instruksi Presiden Jokowi tentang percepatan reforma agraria yang kembali ditekankan Presiden di Mandailing Natal, 25 Maret yang lalu,” tambah Henry.(jhon)
0 Komentar