Peneliti dari Human Right Watch, Kyle Knight mendapat pengakuan yang beragam tentang kehidupan LGBT. Seorang waria dari Aceh bercerita tentang pengalamannya dipukuli polisi syariah di Aceh. Waria lain dari Yogyakarta bercerita tentang pesantrennya yang ditutup paksa.
Waria dari Makassar bercerita tentang dirinya yang dilarang membagikan kondom gratis bagi waria lainnya oleh kelompok agama ekstremis, meski mereka tahu kalau kegiatan itu adalah bagian dari pendidikan seks sekaligus pencegahan penyebaran penyakit kelamin.
Tak sedikit yang juga menceritakan pengalaman mereka didiskriminasi saat berobat, di sekolah, di lingkungan tetangga, bahkan di dalam rumah sendiri.
Semua kisah pilu itu dirangkum Kyle dalam laporannya berjudul: Komunitas LGBT Indonesia dalam Ancaman. Dalam laporan yang sama, akan ditemukan pula cerita-cerita sadis tentang waria-waria yang dipukuli masa hanya karena penampilannya, para pekerja salon yang difitnah polisi syariah, hingga pengakuan susahnya mencari pekerjaan oleh waria-waria di Indonesia.
Dalam laporan yang dirilis Agustus lalu itu, stigma buruk yang dilekatkan kelompok agama ektremis dan kurangnya pengetahuan pemerintahan (mulai dari lokal hingga ke pusat) ditenggarai menjadi penyebab perlakuan diskriminasi tersebut.
Peran media yang mayoritasnya juga tak paham mengelola isu minoritas dalam kaedah jurnalistik juga menjadi salah satu faktor utama meningkatnya diskriminasi dan kriminalisasi pada kelompok ini selama beberapa tahun terakhir. Bahkan menurut laporan
“Kekerasan pada LGBT” dari Forum LGBT Indonesia, media massa di Indonesia menempati posisi kedua pelaku kekerasan pada LGBT, setelah Aparatur Negara dan Ormas. Persentasenya mencapai 22 persen, selisih sedikit dari posisi pertama yang masing-masing mencapai 27 persen.
Rupanya perilaku diskriminasi ini tak hanya berdampak pada sektor sosial-budaya masyarakat Indonesia. Akibat tidak patuhnya Indonesia menjalankan konstitusinya untuk tidak mendiskriminasi masyarakat minoritas, sektor ekonomi negeri ini juga terciprat dampaknya. Berdasarkan studi terbaru dari William Institute di UCLA School of Law, diskriminasi LGBT di Indonesia merugikan hingga 12 miliar dolar atau setara dengan lebih dari Rp159 triliun.
Kerugian ini disebabkan oleh perlakuan diskriminasi yang terjadi di Indonesia meliputi hambatan-hambatan di sektor pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan. Dalam tiga sektor ini, individu LGBT kerap mendapatkan pelecehan, tindak kekerasan, bahkan didiskreditkan oleh peraturan perundang-undangan.
Misalnya seperti yang terjadi di Bireuen, Aceh, 7 Maret 2016 silam. Ketika itu pemerintahnya mengeluarkan surat yang melarang seluruh pemilik usaha mempekerjakan orang-orang LGBT. Surat yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Bireun itu berbunyi:
“Diminta kepada saudara untuk tidak memberi kesempatan kepada karyawan lesbian, gay, biseksual, dan transgender di salon atau pangkas rambut yang saudara kelola.”
Menurut laporan William Institute ini, diskriminasi pada sektor pekerjaan yang kentara terjadi di Indonesia dapat mengurangi pemasukan negara dan meningkatkan angka pengangguran yang berdampak pada jumlah penduduk miskin Indonesia.
Tak hanya di Aceh, dalam laporan ini, sejumlah daerah lain juga mengoleksi peraturan daerah (perda) yang mengkriminalisasi homoseksualitas, sehingga berdampak memperparah stigma yang ada. Dan meningkatkan angka diskriminasi. Di antaranya, Palembang, Tasikmalaya, dan Padangpanjang. (tir)
0 Komentar