BUNG Hatta dalam perjalanan ke Pematang Siantar, ibukota Propinsi Sumatera ketika pasukan Belanda melancarkan agresi ke kota itu, Juli 1947. Puan dan tuan, inilah peristiwa pada permulaan bulan puasa 1936 hijriah.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
Dari Bukittinggi ke Pematang Siantar, Bung Hatta lewat Sibolga. Di Sibolga, melalui siaran radio dia mengetahui agresi pasukan Belanda berhasil menerobos pertahanan Republik Indonesia di Medan.
27 Juli 1947. Serdadu Belanda masuk Tebing Tinggi. Dan langsung bergerak ke Pematang Siantar, ibukota propinsi Sumatera.
"…maka Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta dan rombongan, Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohammad dan seluruh staf pemerintahan Sumatera segeralah dipindahkan ke Bukittinggi," tulis Buya Hamka dalam memoarnya Kenang2an Hidup.
Menurut Hamka, Siantar ditinggalkan 27 Juli 1947, dua jam sebelum kota itu diduduki Belanda.
Di perjalanan, "mobil iring-iringan Hatta ditembak," tulis Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan Ekonomi Islam: Menangkap Makna Maqashid al Syariah.
29 Juli 1947 rombongan sudah di Bukittinggi.
Malam itu juga, "baru satu hari sampai di Bukittinggi, Bung Hatta mengadakan briefing dengan menyuruh undang seluruh pimpinan di Sumatera Barat," kenang Buya Hamka.
Ada perwakilan dari Masyumi, PNI, Partai Sosialis, PKI, Perti, PSII, Partai Tarikat, Muhammadiyah. Hadir pula niniak mamak, para ulama serta tokoh Minang Mr. St. Mohd. Rasyid, Komandan Devisi Ismail Lengah, Letnan Kolonel Dahlan Jambek dan lain-lain.
Buya Hamka yang datang terlambat duduk di belakang.
Masing-masing memaparkan situasi terbaru serta pandangan-pandangannya. Termasuk tentang Bagindo Aziz Khan, Walikota Padang pertama yang baru saja dibunuh Belanda.
Karena lelah setelah melalui perjalanan kilat dari Siantar ke Bukittinggi, Hatta tak berlama-lama ikut perundingan. Dia pamit rehat.
Oiya, sebelum pamit rehat, Hatta sempat menganjurkan perlunya kesatuan perjuangan yang bersifat kerakyatan. Kesatuan tenaga untuk membalas musuh, "sehingga dendam kita karena kematian Aziz Khan dapat ditebus," katanya, sebagaimana ditulis Hamka.
Yang tinggal meneruskan rapat.
"Pemimpin rapat ialah pemimpin tua yang terkenal, yaitu Haji Datuak Batuah dari Partai Komunis Indonesia. Beliau baru saja pulang sesudah diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Digul sejak tahun 1923," tulis Hamka dalam memoarnya.
Menurut Hamka, Haji Datuak Batuah adalah guru mengajinya semasa kanak-kanak di Sumatera Thawalib.
"Hari bulan puasa. Malam agak panjang," tulis Hamka. "Akhirnya putus mufakat untuk mendirikan badan persatuan, diberi nama Front Pertahanan Nasional (FPN)."
Rapat bersepakat mengangkat lima formatur untuk menyusun front pertahanan itu. Terpilih Hamka, Khatib Sulaiman, Udin, Karim Halim dan Rasuna Said. Yang disebut terakhir mewakili kaum Bundo Kanduang. Rasuna Said seorang perempuan.
"Khatib Sulaiman yang memang ahli menyusun organisasi, mengusulkan kelima formatur langsung jadi penyelenggara atau motor dari front ini yang dinamai Sekretariat Front Pertahanan Nasional," ungkap Hamka.
Untuk ketua sekretariat itu, Khatib Sulaiman yang menurut Hamka dikenal sebagai tokoh pemuda golongan kiri di Padang mengusulkan, "Hamka!".
Sutan Sulaiman dari PNI menyambung, "Hamka!"
"Hamka!" seru Datuak Batuah dari PKI.
"Hamka!" kata Juir Muhammad dari Partai Sosialis.
Kalangan pemuda dari Pesindo, Hizbullah, Sabilillah bersorak pula, "Hamka!"
Tinggal Masyumi. Semua mata tertuju ke Ilyas Ya'kub pimpinan Masyumi. Ilyas menatap Hamka. "Terimalah," katanya. Hadirin sontak bertepuk tangan. Sorak-sorai.
Malam 2 Agustus 1947, bertempat di Hotel Merdeka diadakan sidang membahas anggaran dasar, program dan pekerjaan FPN.
Malam itu, melalui siaran radio, Perdana Menteri Amir Syarifuddin memerintahkan hentikan tembak-menembak. Gencatan senjata.
Cerita Hamka, "sehabis mendengar pidato radio, diedarkanlah pertanyaan berkeliling, apakah FPN akan dilanjutkan juga, sebab suasana berubah…"
Semua bersepakat, janji Belanda tak bisa dipegang. PFN mesti diteruskan.
Gedung Cinema Theater Bukittinggi, 12 Agustus 1947. Seluruh barisan, partai politik, perkumpulan sosial, pemuda kaum wanita, ulama, niniak mamak berkumpul. Hari itu, FPN diresmikan. Hamka selaku pimpinan FPN berpidato menyalakan jiwa-jiwa merdeka.
Badan-badan yang bersatu dalam FPN 56 banyaknya.
Di antaranya Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Barisan Hulubalang, Ibu Kesatria, Persatuan Saudagar, Barisan Merah, Barisan Teras.
Ada Partai Tarikat Naksyabandi, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), Pesindo, Sobsi, Partai Komunis Indonesia (PKI), PKI Lokal Islamy, Masyumi, Masyumi Muslimat, Perti, Lasymi, Muhammadiyah, Aisyah, Kowani, Perwari, Barisan Hizbullah, Sabilillah dan lain-lain.
Rahasia persatuan ini, kata Hamka, laksana tinju yang bulat, karena tujuan nasionallah yang diketemukan, yaitu perjuangan mempertahankan kemerdekaaan.
Bung Hatta yang menganjurkan kesatuan badan perjuangan itu tak hadir waktu peresmian FPN di Cinema Theater Bukitiinggi, 12 Agustus 1947.
Jadi, "tatkala Hatta berada di Bukittinggi, dia mendapat telegram dari Soekarno. Soekarno meminta Hatta untuk pergi ke India bertemu dengan Jawaharlal Nehru meminta bantuan senjata," tulis Anwar Abbas.
Kisah ini termuat juga dalam buku Mohammad Hatta: Pejuang Proklamator Pemimpin Manusia Biasa karya Amrin Imran.
Untuk kelancaran misi tersebut, tulisnya, Soekarno telah mempersiapkan segala sesuatunya. Kepergian Hatta dirahasiakan. Dalam paspor yang dipersiapkan oleh Soekarno, nama Hatta diganti jadi Abdullah, jabatannya co-pilot.
Dikabarkan, di India, Hatta berunding dengan Jawaharlal Nehru. Dia juga bertemu dengan Mahatma Ghandi, tetapi Ghandi tidak tahu bahwa orang yang menemuinya itu adalah Hatta karena memang kedatangan Hatta dirahasiakan.
"Nehru mengatakan India tidak dapat memberikan bantuan senjata karena India masih di bawah kendali Inggris. Tetapi Nehru berjanji untuk memberi dukungan politik dan membela perjuangan bangsa Indonesia di forum internasional."
Dalam Kronik Revolusi Indonesia: 1947 yang disusun Pramoedya Ananta Toer, disebutkan bahwa kedudukan Mohammad Hatta selaku Wakil Presiden di Bukittinggi semakin mantap.
Karena, "sejak akhir Juli ini Perdana Menteri Amir Sjarifuddin telah memberikan mandat sepenuhnya kepadanya untuk urusan pemerintahan pusat di Sumatra, sepanjang hal itu menyangkut kepentingan Republik di pulau tersebut," tulis Pram.
Sebagai contoh, lanjut Pram, Hatta memperoleh keleluasaan untuk mengambil tindakan darurat yang diperlukan, meski pun sebetulnya itu bukan wewenang wakil presiden.
Terutama dalam hal pertahanan dan kemiliteran, ekonomi dan keuangan serta hubungan luar negeri, yang memang sudah dilakukan Hatta sejak sebelum Amir Sjarifuddin menjadi Perdana Menteri. (wow/jpnn)
0 Komentar