Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meluncurkan film dokumenter tentang kisah Yusman Telaumbanua, pemuda asal Nias, Sumatera Utara, yang menjadi mantan terpidana mati dalam kasus pembunuhan. Yusman menjadi korban rekayasa kasus.
Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik KontraS, Putri Kanesia menuturkan, film ini menjadi bahan edukasi bagi masyarakat terkait hukuman mati yang tak lepas dari kesalahan proses hukum.
"Jangan sampai ada Yusman lainnya lagi yang sebenarnya tidak ferkait dengan kasus tapi divonis mati," kata Putri pada peluncuran film dokumenter Novum, di Kineforum,Jakarta, 29 Oktober 2017
Menurut dia, saat ini Kontras tengah menunggu salinan putusan dari Mahkamah Agung untuk menentukan strategi dan konsekuensi ke depan dalam kasus Yusman. Namun demikian, MA belum merespon permintaan tersebut.
"Memang sampai hari ini belum dibalas juga oleh MA dan mungkin dalam waktu dekat kami akan mengirimkan surat kembali ke MA," ujarnya.
Selain Yusman, Kontras juga akan melakukan advokasi terhadap Kakak Ipar Yusman, Rasula Hia yang masih mendekam di Lapas Tangerang. Menurut Putri, Rasula turut menjadi korban rekayasa kasus.
Sementara itu, Yusman sendiri mengaku sedih setelah melihat film tersebut. Namun, film tersebut menjadi motivasi Yusman untuk bangkit kembali menjalankan kehidupan.
"Keluar dari penjara pas ketemu orang tua ada semangatnya. Setelah ada film makin semangat," ujar Yusman.
Pada tahun 2013 majelis hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias menjatuhkan vonis mati terhadap Yusman dan kakak iparnya, Rasula Hia.
Dalam proses penyidikan di kepolisian, Yusman dipaksa untuk menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) tanpa tahu isinya. Yusman juga disiksa oleh penyidik dan tidak diberi bantuan penerjemah bahasa Nias karena dirinya tidak terlalu bisa berbahasa Indonesia. Penyidik juga diduga merekayasa usia Yusman, yang saat proses pemeriksaan sebenarnya masih berusia 15-16 tahun.
Kontras menilai vonis hukuman mati yang sempat menimpa Yusman Telaumbanua, pemuda asal Nias, Sumatera Utara menjadi bukti bahwa proses hukuman mati masih memiliki berbagai kejanggalan.
"Kita harus lihat banyak kejanggalan terjadi. Yusman disiksa, disuruh bohong soal umurnya. Film ini sangat baik untuk menambah pengetahuan kita bahwa mereka yang dijadikan terdakwa belum pasti salah," kata Putri.
Menurut dia, masyarakat harus aktif melakukan pengawasan untuk mencegah kasus Yusman terjadi kepada orang lainnya, khususnya mereka yang masih di bawah umur.
"Manusia punya hak hidup bahkan saat dia terdakwa juga punya hak yang harus dipenuhi negara," kata Putri.
Ia mengatakan upaya pemaksaan manipulasi umur dan tindak kekerasan yang dialami Yusman menjadi bukti bahwa peradilan cenderung gegabah dalam mengambil vonis hukuman mati. (tempo)
0 Komentar