BREAKING NEWS! Membongkar Sejuta Tipu Bisnis Properti di Pulau Reklamasi


Konsumen properti yang tidak mendapatkan haknya di Pulau D mesti terus menagih tanggung jawab PT Kapuk Naga Indah. Sebagai penjual, perusahaan tersebut harus mengembalikan uang pembelian rumah dan toko di kawasan reklamasi Pantai Utara Jakarta yang sudah mereka terima. Semestinya tak ada celah untuk berkelit, karena Kapuk Naga terbukti menjual properti tanpa mengantongi legalitas.

Praktik lancung itu terkuak setelah sembilan konsumen properti di Pulau D kian dapat mengungkap borok Kapuk Naga Indah. Meski belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), anak usaha Agung Sedayu Group itu ternyata sudah memasarkan rumah dan toko sejak 2013.

Masalah kian ruwet setelah pemerintah memberikan sanksi moratorium alias penghentian pembangunan di lahan reklamasi pada 2016, salah satunya yang dikelola Kapuk Naga Indah, lantaran melanggar izin lingkungan.

Tanda-tanda ketidakberesan langkah penjual proyek properti sudah terlihat sejak awal. Menurut pengakuan sembilan konsumen yang mengaku sudah menyetor Rp 36,7 miliar, Kapuk Naga mengklaim sudah memiliki izin yang lengkap di Pulau D.

Selain itu, mereka diiming-imingi janji harga jual properti akan melonjak tajam ketika proyek rampung. Kendati ada unsur keteledoran pembeli, kecurigaan adanya unsur kesengajaan atau niat tidak baik layak disematkan ke PT Kapuk Naga ketika memasarkan produk.

Pasal 1338 alinea ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: perjanjian-perjanjian, termasuk jual-beli, harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Jika hal ini terbukti dilanggar, Kapuk Naga Indah bukan cuma terjerat persoalan perdata, melainkan juga pidana penipuan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kasus ini semestinya menjadi pelajaran penting bagi konsumen properti agar lebih teliti sebelum membeli. Rekam jejak pengembang dan legalitas proyek harus menjadi pertimbangan utama, selain lokasi, harga, dan proyeksi keuntungan. Pasal 42 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mewajibkan pengembang untuk mengantongi IMB, status kepemilikan tanah, fasilitas umum dan sosial, hingga mendirikan 20 persen dari total bangunan sebelum memperjualbelikan perumahan. Jika satu atau beberapa syarat ini tak terpenuhi, sebaiknya menimbang ulang rencana membeli properti di kawasan tersebut.

Pemerintah juga harus lebih giat menertibkan para pengembang properti nakal. Hingga saat ini belum pernah ada sanksi tegas bagi perusahaan properti yang terbukti mengelabui konsumen. Padahal bukan rahasia lagi, banyak pengembang ataupun agen perumahan yang menjual produknya sebelum mengantongi berkas perizinan maupun status legal secara lengkap. Jika praktik jahat ini terus dibiarkan, pemerintah bisa dinilai gagal melindungi hak konsumen properti.

TEMPO

Posting Komentar

0 Komentar