Muhammad Arifin, 50, tidak pernah menyangka bakal berurusan dengan pihak kepolisian terutama terkait kasus teroris. Meski menjadi korban salah tangkap dan sudah dibebaskan, pegawai Kantor Pos tersebut masih trauma. Seperti apa ceritanya?
Sisa-sisa penggeledahan yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada Senin (14/5) lalu masih jelas tergambar. Tidak hanya di dalam ruang tamu saja, namun kondisi rumah yang berantakan juga sudah terlihat sejak di teras depan.
Areal dalam rumah, kondisinya tidak jauh berbeda dengan bagian lainnya. "Ini yang waktu itu digeledah. Saya belum sempat merapikan," kata Arifin, ramah ketika ditemui di rumahnya, Rabu (16/5).
Arifin meskipun dikenal pendiam, ia merupakan orang yang cukup supel diajak ngobrol. Kepada JawaPos.com Arifin bercerita, sewaktu proses penggeledahan, aparat kepolisian memeriksa secara detil bagian rumahnya. Mulai dari lemari, kamar tidur, belakang rumah, ruangan salat hingga rak dapur semua diteliti dengan seksama.
Awalnya, Arifin dijemput di Kantor Pos tempatnya bekerja. Salah seorang rekannya menyampaikan bahwa pimpinan tengah mencarinya. "Sempat bingung juga, sebab tiba-tiba dipanggil pimpinan," kata dia.
Begitu sampai di ruangan pimpinan, ia pun kaget karena sudah ada polisi yang mencarinya. Jantungnya dag dig dug tak karuan, bingung dengan apa yang telah terjadi. Kemudian, Arifin berserta sejumlah polisi tersebut meluncur menuju rumahnya. Sesampai di rumah, polisi langsung memeriksa dan menggeledah ruangan yang ada di kediamannya.
Penggeledahan dilakukan sekitar 4 jam, mulai dari pukul 13.00-17.15 WIB, menjelang magrib baru selesai. Usai proses penggeledahan, Arifin pun dibawa ke Mako Brimob Detasemen B Pelopor Polda Jatim, Ampeldento, Pakis, Kabupaten Malang.
Selama sekitar dua jam dia diperiksa dan dimintai keterangan oleh polisi. Kebanyakan polisi menanyakan mengenai aktivitas istrinya. Pasalnya, Arifin diamankan karena diduga keterlibatan istrinya terkait dengan aksi teror yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo.
Istrinya lebih dulu diamankan di Sidoarjo, Senin (14/5) siang. "Tanya kegiatannya apa, tempat pengajiannya dimana. Bahkan salah satu polisi sempat bilang, gimana awasi istri, bapak PNS kok bisa istri sampai tergabung seperti itu. Sempat bilang begitu," kata Arifin menirukan omongan seorang personel polisi.
Arifin menegaskan, tidak mungkin keluarganya tergabung dalam aksi radikal dan terorisme. Pasalnya, selain dibesarkan dalam keluarga aparatur negara. Kakak dan adiknya ada yang menjadi polisi, TNI, bahkan pengacara.
"Nggak mungkin lah Mbak, saya dan istri saya bergabung di seperti itu. Bahkan ayah istri saya itu pejuang. Masa iya bapaknya memperjuangkan negara, anaknya malah merongrong," katanya lembut.
Arifin menjelaskan, setelah diperiksa selama dua jam, dia dipastikan tidak terkait dengan aksi teror. Sekitar pukul 21.00, dia dipulangkan. Kemudian, setengah jam kemudian, garis polisi yang semula dipasang di rumahnya juga dilepas.
Pascakejadian itu, dia berkomunikasi dengan istrinya, Siti Rohaidah atau yang akrab disapa Ida. Dari Ida, dia tahu kejadian yang sebenarnya. Kepadanya perempuan yang sehari-hari berjualan telur asin itu bercerita, saat kejadian teror bom di Sidoarjo, Minggu (13/5), istrinya memang berada di Sidoarjo.
Saat itu Ida baru pulang dari Surabaya, daerah asalnya, bersama dengan adiknya, Rosalina Afrida. Waktu itu, Ida hendak mengantarkan saudarinya itu pulang ke Sidoarjo.
Tak disangka, keponakan Ida yang paling kecil tiba-tiba sakit. Kemudian, mereka membawa keponakannya ke klinik. Klinik paling dekat ada di dekat Mapolres Sidoarjo.
Masih berdasarkan cerita Arifin, saat itu Ida dan adiknya berada di dalam mobil. Kemudian, diberhentikan oleh polisi dan diminta keluar. Keduanya pun menurut saja. Keduanya keluar dari mobil dan menurut digelandang polisi. "Mungkin karena istri saya dan adiknya sama-sama bercadar. Jadi dikira teroris," katanya.
Sama dengan Arifin, ketika diperiksa, Ida dan adiknya juga tidak ada keterkaitan dengan teroris. Dia hanya menyayangkan identitas istrinya tersebar luas di media sosial. Masyarakat juga sudah melabeli keduanya sebagai pasangan teroris.
"Trauma, karena dicap teroris, dibawa polisi. Se-Indonesia sudah mengecap kami teroris, walau tidak terbukti. Tapi Polisi baik kok ketika tanya ke saya, saat interogasi," sesalnya.
(tik/Jawapos)
0 Komentar