Mungkin sekitar 25 tahun lalu, saat memutuskan diri untuk nyantri, paman saya yang kiai itu mengganti nama saya dengan nama itu. Saya merasa penuh. Itu adalah nama yang besar, yang paling awal saya ingat sejak saya bisa mengenal nama-nama.
Muhammad, nama yang digayung dari sumur bening hikayat agama di masa kecil saya. Semakin saya mendengarnya, semakin saya mengenalnya, dan semakin saya mengenalnya, semakin saya mencintainya. Saya kira, semua muslim juga begitu. Bukan karena kita diharuskan, tetapi karena betapa mudahnya dia dicintai: kelembutannya terhadap anak-anak, kecintaannya bahkan pada hewan, perhatiannya kepada yang lemah dan tertindas, rasa keadilannya yang selalu menyudahi marah dengan belas kasihan.
Muhammad, nama yang ikut dibakar dalam bendera itu, adalah seorang yatim piatu yang pemalu dan pendiam. Ayahnya berpulang selagi dia berada dalam kandungan dan ibunya menyusul saat usianya baru menginjak tujuh tahun. Dia nyaris tidak memiliki kenangan tentang orangtuanya. Dia dirawat oleh kakek dan kemudian pamannya. Dia tumbuh sebagai penggembala dan pemuda yang paling dipercaya masyarakatnya.
Bagi setiap sahabat yang menemuinya, dia adalah pria dengan seribu kenangan kebaikan. Dia memiliki temperamen yang lembut dan tidak pernah kasar kepada orang lain. Dia mendatangi mereka yang sakit bahkan mereka yang memusuhinya. Dia mendoakan orang-orang yang melemparinya seolah-olah mereka adalah keluarga yang tak pernah dimilikinya.
Ketika dia berbicara, kata-katanya singkat dan reflektif. Dia meletakkan ibu jari tangan kanannya ke telapak tangan kirinya sementara para sahabatnya menunduk mendengarnya seolah-olah burung-burung bertengger di atas kepala mereka. Dia tidak pernah mengkritik makanan atau memuji berlebihan. Dia mengungkapkan rasa terima kasih atas segala sesuatu yang diberikan kepadanya tidak peduli seremeh apapun itu. Dia tidak pernah mengutuk, dia tidak gemar mencari kesalahan pada orang lain. Dia tidak menyanjung orang kecuali memuji mereka di saat yang tepat. Orang-orang datang kepadanya dengan kebingungan dan meninggalkan rumahnya,tercerahkan.
Dia tidak pernah berdiri atau duduk tanpa menyebut nama Tuhan. Dia tidak pernah memesan tempat khusus untuk dirinya sendiri dalam sebuah pertemuan. Dia duduk di tempat yang disediakan. Dia memberi mereka yang duduk bersamanya perhatian penuh, sehingga semua orang merasa mereka masing-masing adalah orang yang paling penting dalam pertemuan itu.
Dia akan mencari sahabat-sahabatnya ketika mereka tidak hadir, dan bertanya tentang kebutuhan mereka. Dia hidup sederhana tetapi tak pernah menahan apa yang dimilikinya saat itu. Dia menjahit bajunya. Memperbaiki sandalnya sendiri. Jika ada makanan, dia bersyukur, jika tidak ada dia berpuasa. Dia mengganjal perutnya dengan batu kadang-kadang untuk menahan lapar.
Yang saya suka dari Nabi Muhammad, dia adalah manusia biasa. Dia juga suka bercanda. Suatu kali dia pernah berkata, “Saya bercanda tetapi selalu mengatakan yang sebenarnya.” Istrinya, Aishah berkata, “dia selalu membuat kami tertawa di rumah.” Salah satu namanya adalah ad-dahhak — yang tersenyum. Suatu ketika seorang wanita tua bertanya kepadanya apakah dia akan masuk surga dan dia menjawab, “Orang tua tidak pergi ke surga!” Wanita itu kecewa dengan jawaban yang dia berikan, tetapi dia menambahkannya dengan tersenyum, “Anda akan masuk surga dalam keadaan muda."
Saya tidak sedih seberapa mengerikannya orang menghina Tuhan - Tuhan tak perlu dibela, dia maha Kuasa. Tapi seberapapun Anda merasa marah akan tulisan dalam bendera-bendera tauhid itu, setidaknya hormatilah nama itu. Renungilah apa yang telah diberikannya, dikorbankannya bagi kita semua, niscaya Anda akan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang pria yang memanggil-manggil Anda bahkan di ujung ajalnya: Umatku...umatku...
Dia pergi ketika hampir separuh dunia memujinya dan tunduk kepada risalahnya. Tapi tak ada kemegahan dunia apapun mengiringinya. Dia meninggal pada hari yang sama ketika dia dilahirkan. Di rumah yang sama yang dia tinggali selama sepuluh tahun di Madinah. Di atas tempat tidur kecil yang terbuat dari kulit yang diisi dengan serabut, dalam pelukan istri tercintanya, Aishah.
Para sahabatnya menangis dan segera namanya hidup dalam kenangan semua orang. Dia adalah ayah yang baik, sahabat yang hangat, suami yang mesra, pembimbing yang penuh kasih, dan di atas segalanya, dia adalah seorang manusia yang penuh ketauladanan. Penampilan fisiknya, sifatnya yang terpuji, dan antusiasnya yang tak dibuat-dibuat untuk selalu berkorban bagi orang lain. Kebaikannya seringkali menjadi esensi dari apa pun yang bisa Anda kenang tentang cinta, pengabdian, dan nilai-nilai kesederhanaan.
Saya merasa sangat bersyukur karena telah mengenalnya dan belajar darinya. Tidak pernah berlalu satu hari bagi umat muslim tanpa merasa berhutang budi kepadanya. Dia mengajarkan persaudaraan dalam Islam, sebuah tali yang mengikat melampaui kebanggaan akan ras, ormas, suku, negara. Dia hidup di suatu zaman di mana setiap orang bisa saling begitu membanggakan nasab-nasab dan kabilah-kabilah tapi dia tidak pernah terjebak dalam fanatisme. Dia membawa pesan universal kepada semua manusia bahwa kita semua setara, hanya Tuhanlah yang besar.
Suatu kali, seorang Badui datang ke masjid dan berdoa dengan keras, “Ya Tuhan Ampunilah aku dan Muhammad dan jangan mengampuni orang lain selain kami.” Nabi, semoga selawat dan salam selalu tercurah kepadanya, tertawa dan berkata, "Anda membatasi belas kasih Tuhan.” Dia tidak pernah mengambil belas kasih Tuhan untuk dirinya, bahkan meskipun Tuhan sendiri berselawat kepadanya. Tentu saja, saya mengira, dia ingin kita juga pun berbuat demikian: Selalu bisa memaafkan dan tidak mengambil belas kasih Tuhan untuk diri kita sendiri.
(randu)
0 Komentar