Kali ini Pak Jokowi rupanya harus benar-benar jeli dan kritis terhadap kinerja bawahannya. Terkait dengan penanganan pasca gempa. Karena ini bersifat darurat. Tidak boleh membuat dan menjalankan program asal-asalan.
Seperti di Lombok. Sejak awal pemerintah dimotori Kemensos telah menjanjikan jaminan hidup (Jadup) bagi korban gempa sebesar 10 ribu perhari. Realisasinya sebelum masa tanggap darurat tanggal 25 Agustus 2018 usai.
Nyatanya jadup yang dijanjikan itu sampai sekarang tidak jelas keberadaannya. Malah terakhir Kemensos menyatakan dana masih diajukan. Siapa tau bisa dianggarkan tahun 2019.
Duuuh... kalau masih diajukan dan belum tentu akan mendapat anggaran mengapa meski dijanjikan? Malah dengan janji akan terealisasi sebelum masa tanggap darurat usai?
Kalaupun benar kelak 2019 Jadup ini akan menjadi nyata. Saya kira sudah terlambat. Karena sekaranglah para korban gempa membutuhkan itu. Sekaranglah mereka perlu diberikan makan. Saat rumah-rumah mereka hancur. Kampung hancur. Tempat usaha hancur. Saat mereka kehilangan pekerjaan. Bukan tahun 2019. Yang kemungkinan saat itu keadaan sudah lebih baik.
Begitu juga dengan bantuan rumah yang telah dijanjikan. Mengecewakan. Begitu lambat pelaksanaannya. Dan tidak sesuai dengan yang dibayangkan masyarakat setelah mendengar pidato Pak Jokowi.
Kemarin saya mampir di beberapa warga desa Sugian. Salah satu desa paling parah terdampak gempa di Lombok Timur. Di sana ada beberapa orang penerima bantuan tahap pertama. Rekening sudah ditangan sejak Pak Jokowi berkunjung ke Lombok. Sosialisai di kantor desa sudah diberikan sebulan yang lalu. Pembangunan akan dimulai minggu berikutnya. Tapi sampai sekarang pembangunan tidak ada kejelasan. Entah kapan akan dimulai.
Di Lombok Utara masyarakat demo. Menolak bantuan rumah itu. Bukan tidak ingin. Tapi tidak sesuai dengan yang disampaikan Pak Jokowi. Dimana ada beberapa pilihan model rumah tahan gempa. Termasuk yang berbahan kayu. Tapi kenyataannya masyarakat dipaksa dibuatkan rumah beton. Tidak boleh memilih.
Belum lagi pelaksanaannya yang sistem kelompok dan gotong royong. Teorinya sih terdengar bagus. Memupuk budaya gotong royong di tengah masyarakat. Tapi apa bijak kita meminta masyarakat yang sedang kelaparan gotong royong? Iya kalau satu dua hari. Kalau berbulan-bulan?
Satu kelompok sampai 15 KK. Berarti harus ada 15 rumah yang dibangun. Pemerintah menargetkan 1 rumah 2 hari. Berarti anggota kelompok itu harus gotong royong selama satu bulan penuh. Tidak ada waktu untuk mencari nafkah. Itu kalau pembangunan sesuai target? Kalau melenceng? Bisa-bisa mereka gotong royong sampai dua bulan atau tiga bulan. Mereka dan keluarganya mau makan apa selama itu? Saya rasa ini bukan gotong royong lagi. Tapi serasa menjalani romusha dan kerja rodi.
Tidak perlu menjanjikan Jadup jika tidak ada anggarannya. Model gotong royong ini saja yang dirubah menjadi model padat karya. Saya rasa itu lebih baik untuk masyarakat dan untuk pemerintah. Sambil membantu sambil membuatkan pekerjaan. Masyarakat tidak lapar saat membuat rumah. Pemerintah yang kekurangan anggaran juga tidak kelabakan memikirkan Jadup.
Seharusnya pemerintah juga mendorong masyarakat yang masih memiliki sumberdaya membuat rumah sendiri. Tinggal dibuatkan standar. Bukan menakut-nakuti bahwa rumah tidak akan dibayar jika rumah tidak tahan gempa. Harus ada nota pembelanjaan segala. Kan mubazir bahan bekas yang melimpah.
Kalau hanya membuat rumah tahan gempa yang terbuat dari kayu, masyarakat Lombok sangat bisa melakukannya. Bahkan rumah nenek moyang orang Lombok (bale balak’) sudah dirancang tahan gempa.
Pekerjaan pemerintah menjadi lebih ringan. Tinggal membuatkan masyarakat yang benar-benar tidak mampu. Untuk yang mampu, pemerintah tinggal memberikan konpensasi. Uang konpensasi itu bisa dibuat modal usaha. Masyarakat bisa bangkit lebih cepat.
Tidak seperti sekarang. Masyarakat seperti disandera. Ingin membangun rumah sendiri, sayang. Nanti akan dibuatkan. Menunggu rumah yang dijanjikan entah kapan datangnya.
Inilah harapan saya selaku salah satu warga Lombok. Angan-angan saya. Asa saya untuk Pak Jokowi. Agar pak Jokowi lebih kritis terhadap program-program yang dibuat bawahannya. Jangan hanya berorientasi menghabiskan anggaran. Serta lebih jeli mengawasi program yang sedang dilaksanakan. Agar tidak lelet seperti sekarang.
Untuk Lombok mungkin sudah terlanjur. Tapi paling tidak penanganan korban gempa seperti ini jangan terulang lagi di Sulawesi.
*LBS (guru SD di Lombok)
0 Komentar