Dunia kedokteran tanah air dihebohkan kabar meninggalnya dr Stefanus Taofik SpAn. Apalagi, meninggalnya dokter spesialis anestesi itu dikaitkan dengan beban kerja yang terlalu tinggi (overworked). Benarkah demikian?
AWAN duka menggelayuti sebuah kediaman di Jalan Purbasari Nomor 2, Mayura, Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Itulah rumah keluarga almarhum dr Stefanus Taofik SpAn.
Belasan karangan bunga dukacita yang berjajar di depan dan samping rumah dua lantai tersebut menambah aura belasungkawa Siang kemarin (28/6) puluhan pelayat tampak mulai mendatangi rumah duka untuk unjuk belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan.
Sekaligus memberikan penghormatan untuk jenazah Stefanus yang sebelumnya diterbangkan dari Jakarta dan tiba sekitar pukul 11.00 Wita di Bandara Internasional Lombok di Praya, Lombok Tengah.
Selain saling sapa, obrolan para pelayat berkutat seputar penyebab meninggalnya Stefanus yang masih berusia 35 tahun. "Yang kami tahu, anak kami tercinta ini kelelahan," ujar Herman Susilo Taofik, ayahanda Stefanus, kepada Lombok Post (Jawa Pos Group) kemarin.
Tak banyak kata yang keluar dari keluarga terdekat Stefanus. Rasa duka dan kaget atas kabar tak terduga meninggalnya putra tercinta masih terasa kuat. "Kami keluarga besar Herman Susilo Taofik sedang berduka. Mohon maaf tidak bisa bicara banyak," kata salah seorang saudara Stefanus. Rencananya, jenazah Stefanus dikebumikan pada Jumat (30/6) di Pemakaman Bintaro, Mataram, pukul 14.20 Wita.
Berdasar informasi dari kalangan keluarga, pada Senin (26/6) sekitar pukul 09.00, Stefanus sempat menghubungi keluarga dan mengaku merasa kelelahan. Keesokan harinya, Selasa (27/6) pukul 18.33 WIB, Stefanus ditemukan meninggal di ruang Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit (RS) Pondok Indah Bintaro Jaya Tangerang Selatan.
Stefanus adalah anak kedua di antara lima bersaudara. Dia menamatkan pendidikan dokternya di Unika Atma Jaya, lalu meraih gelar spesialis anestesi di Universitas Udayana. Saat ini bapak satu anak berusia dua tahun tersebut juga menjadi konsultan di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Sementara itu, kemarin layanan medis di RS Pondok Indah Bintaro Jaya tetap berjalan seperti biasa. Hanya, kegiatannya cenderung sepi karena masih masa libur Lebaran. Operasi masih berfokus pada layanan kesehatan saja.
Seharian kemarin rumah sakit yang berada di CBD Emerald, Boulevard Bintaro Jaya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, itu menjadi sorotan. Penyebabnya adalah kasus kematian mendadak Stefanus Senin lalu.
Informasi yang beredar di media sosial menyebutkan, Stefanus meninggal karena kelelahan lantaran menjalani tugas jaga di bagian ICU dan instalasi bedah selama empat atau lima hari berturut-turut agar para dokter senior bisa libur Lebaran. Benarkah demikian?
Klarifikasi datang dari Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) dr Kuntjoro Adi Purjanto MKes. Dia mengatakan, pihak RS Pondok Indah Bintaro Jaya sudah menyampaikan keterangan terkait jam kerja Stefanus ke Persi. "Saya tidak mendalami penyebab dia meninggal," ucapnya.
Namun, menurut informasi yang dia terima, dalam rentang 24-25 Juni, Stefanus tidak menghadapi beban kerja yang terlalu berat. Sebab, dia hanya melayani satu pasien di ICU dan satu pasien operasi sedang.
Ketika Stefanus bekerja, pihak rumah sakit juga menyiapkan dua ahli anestesi purnawaktu yang siap dipanggil jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Informasi yang masuk ke Persi menyebutkan bahwa Stefanus adalah dokter paro waktu di RS Pondok Indah Bintaro Jaya. "Atas kejadian ini, jajaran Persi menyampaikan belasungkawa," tuturnya.
Sementara itu, pihak RS Pondok Indah Bintaro Jaya maupun RS Pondok Indah Group belum bersedia dimintai komentar. Public Relation RS Pondok Indah Group Hestia Amriyani sampai tadi malam tidak bisa dihubungi. Beberapa kali ditelepon, keterangannya dialihkan.
Hingga tadi malam penyebab pasti meninggalnya Stefanus memang masih simpang siur. Namun, belakangan muncul dugaan bahwa Stefanus meninggal gara-gara serangan jantung.
Kabar serangan jantung itu disampaikan Ketua Program Studi SP2 dari Divisi Anestesia Ambulatoria dan Bedah Umum Fakultas Kedokteran UI dr Arif H.M. Marsaban SpAn-KAP. Dia menjelaskan bahwa Stefanus tidak bekerja tiga hari atau bahkan lima hari nonstop seperti kabar yang beredar. "Beliau bekerja 2 x 24 jam," katanya.
Arif menduga kematian Stefanus akibat serangan penyakit jantung bernama Brugada Syndrome. Penyakit itu merupakan kelainan genetik pada pembuluh darah di koroner. Dia mengatakan, penyakit genetik tersebut banyak dialami laki-laki. "Penderita bisa mengalami serangan jantung tiba-tiba saat tidur," ujarnya.
Kabar Stefanus tidak bekerja lima hari juga disampaikan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) dr Andi Wahjumingsih Attas SpAn. Dia mengatakan, meninggalnya Stefanus tidak terkait dengan overdosis jam kerja. "Sebab, tanggal 24 itu hanya satu pasien di ICU. Dilanjutkan dengan operasi pada tanggal 25," jelasnya saat dihubungi Jawa Pos.
Menurut Wahju, sapaannya, sebagai dokter anestesi, menangani satu pasien yang dirawat di ICU dan satu operasi tidak termasuk berat. Sebab, dokter masih punya waktu untuk istirahat. "Biasanya itu malah menangani lebih dari sepuluh pasien," sebutnya.
Posisi Stefanus di RS Pondok Indah Bintaro Jaya juga bukan sedang belajar. Dia memang bekerja di tempat tersebut. "Jadi, tidak ada kaitannya dengan senior-junior maupun dia yang sedang belajar," tegasnya.
Karena itu, Wahju pun menganggap yang terjadi pada Stefanus tidak dipengaruhi faktor eksternal. "Saya tidak berani berpendapat apa memang dokter Stefanus memiliki penyakit jantung," katanya.
Sekjen PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Moh. Adib Khumaidi menerangkan, setiap momen liburan, dokter yang masih junior umumnya memang meng-cover pekerjaan para seniornya yang sedang libur. "Kondisi ini umumnya selalu ada," ucap dia.
Menurut Adib, keberadaan dokter anestesi di sebuah rumah sakit itu sangat dibutuhkan. Apalagi di rumah sakit yang besar. Namun, dia mengatakan, rumah sakit pasti sudah menyiapkan tempat istirahat bagi para dokter spesialis, khususnya anestesi.
Sebab, tipe kerjanya tidak terus-menerus nongkrong layaknya dokter umum yang jaga piket di ICU. Bahkan, jika rumahnya dekat dengan rumah sakit, dokter anestesi bisa diizinkan pulang. Intinya, tetap harus siap meluncur ke rumah sakit jika ada panggilan darurat. (dss/wan/lyn/c9/owi)
0 Komentar