Tukang Becak Ini Menangis karena Tak Sanggup Bayar Biaya Sekolah


Muhaimin (39), warga Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, tak kuasa menahan air matanya saat mengadu ke kantor Sekretariat Dewan Pendidikan Kabupaten Blora, Rabu (24/1/2018).

Sebagai wali murid, tukang becak itu mengaku keberatan dengan beban biaya yang harus ia tanggung untuk membayar iuran pengadaan komputer sebagai fasilitas penunjang Ujian Nasional Berbasis Komputer di SMP Negeri 5 Blora.

"Jujur saya sangat kelimpungan setelah anak saya meminta uang Rp 300.000 untuk iuran itu. Utang sana sini tidak dapat hasil padahal paling lambat Februari. Berapa sih penghasilan tukang becak seperti saya di zaman modern ini? Bisa makan saja, kami sudah bersyukur," kata Muhaimin sambil menitikkan air mata.

Muhaimin sendiri tak menyangka bahwa ternyata membutuhkan biaya yang tinggi untuk menyekolahkan anak semata wayangnya itu di sekolah milik pemerintah. Semula, ia berharap besar akan memperoleh keringanan biaya menyusul anaknya itu termasuk siswi yang berprestasi.

"Sering diminta harus bayar sumbangan ini itu sejak awal meski akhirnya bisa terbayar setelah berutang. Saya sendiri kasihan sama anak saya karena permintaan iuran komputer belum bisa saya penuhi. Anak saya itu cerdas, sejak kelas 7 hingga 9 selalu masuk rangking sepuluh besar. Tidak usah disebut siapa identitas anak saya," katanya.

Tidak hanya Muhaimin, wali murid lainnya mengeluhkan hal yang sama ke Sekretariat Dewan Pendidikan Kabupaten Blora. Seorang wali murid SMPN 5 Blora lainnya, Sugianto (59) mengaku kecewa dengan keputusan pihak sekolah yang meminta uang sumbangan Rp 300.000 kepada siswa untuk keperluan membeli peralatan komputer di sekolah.

Tak punya pilihan lain, pekerja bangunan itu akhirnya melunasinya dengan menggunakan dana manfaat Program Indonesia Pintar (PIP).

"Saya sangat keberatan. Seharusnya uang sebanyak itu dibebankan kepada orangtua yang mampu. Saya pun akhirnya bayar dengan dana PIP. Uang dari pemerintah itu kembali saya setorkan kepada sekolah untuk membeli komputer," terang Sugianto, duda enam anak itu.

Sementara itu, wali murid SMPN 5 Blora lainnya yang juga ikut mengadu ke Dewan Pendidikan, Muryono (45), menilai bahwa keputusan pihak sekolah tersebut nyata telah mempersulit para orangtua siswa dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan.

"Saya hanya penjual bakso keliling dengan anak empat yang semuanya sekolah. Sehari bisa kantongi Rp 50.000 saja sudah alhamdulilah. Uang darimana lagi ini untuk bayar iuran komputer Rp 300.000. Jelas berat," tegas warga Kecamatan Blora ini.

Menurut Muryono, akibat belum juga membayar iuran komputer, anaknya justru dipermalukan oleh pihak sekolah di depan rekan-rekan sekelasnya.

"Saat pelajaran, tiba-tiba kepala sekolah masuk kelas dan langsung mengkonfirmasi kepada anak saya perihal iuran itu. Seharusnya jangan seperti itu, kasihan anak saya, dia kan jadi beban mental," kata Muryono.

Disampaikan Muryono, beban iuran yang harus ditanggung wali murid SMPN 5 Blora tidak hanya sekali ini saja. Sebelumnya, Muryono mengaku juga pernah ditarik iuran untuk kepentingan lain.

"Dari kelas 7 sampai kelas 9 sudah beberapa kali ditarik iuran. Seperti membeli LCD ditarik Rp 200.000 dan ditarik Rp 100.000 untuk pembangunan ruang kelas baru. Karena saat itu belum bayar uang pembangunan kelas baru, anak saya dan yang belum bayar dipanggil. Saat itu suruh segera bayar atau tak dapat kelas," katanya. (kompas)

Posting Komentar

0 Komentar