"Tanah wakaf Aceh di Mekah yang salah satunya yang diketahui adalah Baitul Al-Asyi bukanlah aset pemerintah, melainkan tanah milik orang Aceh yang sempat menunaikan ibadah haji baik kemudian mereka kembali ke Aceh maupun tinggal di sana, lalu diwakafkan bagi kemaslahatan orang Aceh," kata Dr Munawar A Djalil, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh seperti dilansir dari Serambinews.com.
Selain sebagai kepala Dinas Syariat Islam, ia bicara juga sebagai salah seorang yang pernah ditunjuk Pemerintah Aceh pada tahun 2016 sebagai petugas pendamping nadzir Baitul Asyi.
Dalam beberapa hari terakhir, masyarakat di Aceh dihebohkan dengan isu Pemerintah Pusat melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang ingin mengelola dan berinvestasi di tanah wakaf Aceh di Mekkah, Arab Saudi.
Isu ini terus menggelinding dan memantik komentar miring dari sejumlah kalangan di Aceh. Rata-rata, mereka mengecam rencana BPKH yang mulai melirik wakaf Aceh yang berada di Mekah itu.
Di tengah beragam komentar, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Dr Munawar A Djalil MA, coba meluruskan persoalan tersebut.
Lantas mengapa wakaf tersebut bernama wakaf Habib Bugak? Munawar menjelaskan, Habib Bugak adalah salah seorang wakif dan juga bermukim di Mekah yang mewakili wakif lainnya, yang menyatakan ikrar wakaf di depan Hakim Mahkamah Syar'iyah pada tahun 1222 hijriyah atau sekira tahun 1880 masehi.
Bukankah dalam ikrar Habib Bugak Aceh, bahwa Baitul Asyi itu diperuntukkan bagi jamaah haji asal Aceh untuk tinggal di sana saat beribadah haji?
Munawar menjelaskan, kompensasi yang diberikan saat ini berupa uang 1.200 riyal tentu adalah musyawarah atau mufakat dari Pemerintah Arab Saudi.
“Baitul Asyi itu kan sudah dikembangkan, di sana sudah ada hotel. Karena (hotel) sudah disewakan oleh Pemerintah Saudi, maka dari situlah kompensasi diberikan kepada semua jamaah haji asal Aceh saat ibadah haji,” kata Munawar A Djalil.
Dulu, lanjutnya, beberapa tahun setelah Habib Bugak meninggal, jamaah haji asal Aceh masih tinggal di Baitul Asyi saat ibadah haji.
“Karena dulu kan nggak banyak jamaah hajinya, dan sekarang karena perluasan Masjidil Haram, di situ juga sudah dibangun hotel, dan tentu jika jamaah haji Aceh tinggal di situ pasti tidak cukup kamarnya. Maka Pemerintah Saudi memutuskan membagi kompensasi dari pada hotel yang dibangun di atas tanah wakaf Baitul Asyi tersebut,” jelas Munawar A Djalil.
Terakhir, Munawar A Djalil menjelaskan, soal tanah wakaf Aceh di Mekah itu hanya Pemerintah Saudi yang memiliki otoritas untuk itu.
“Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah tidak punya hak untuk melakukan intervensi. Saya yakin sebagai negara yang menjalankan syariat Islam, tidak mudah bagi Saudi untuk keluar dari tuntunan ajaran Islam terutama dalam hal wakaf,” kata Munawar.
“Bagi saya apapun bentuk usaha pengembangan yang akan dilakukan oleh BPKH, harus sepengetahuan Pemerintahan Aceh dan tentu penggunaan, manfaat, dan peruntukannya sesuai dengan ikrar wakif yaitu Habib Abdurrahman Bin Alwi AlHabsyi,” pungkasnya.
Berikut bunyi ikrar tersebut:
“Rumah tersebut (Baitul Aysi) dijadikan tempat tinggal jamaah haji asal Aceh yang datang ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan juga tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekah untuk haji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri atau mahasiswa) Jawi,”. (Jawi istilah yang waktu itu digunakan untuk menyebut pelajar atau mahasiswa wilayah Asia Tenggara) yang belajar di Mekah).
“Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa Asia Tenggara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekah yang belajar di Masjidil Haram, sekiranya mereka inipun tidak ada juga, maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai keperluan Masjidil Haram.”(*)
0 Komentar