EDAN! Uang Suap Rp42M Buat Bikin Kantor PDIP dan Pemenangan Djarot


Bupati nonaktif Labuhan Batu Pangonal Harahap dituntut dihukum penjara selama delapan tahun karena menerima suap sebesar Rp42,28 miliar dan 218.000 dolar Singapura dari seorang pengusaha bernama Asiong.

Uang tersebut menurut pengakuan Pangonal, ada yang digunakan membuat kantor PDIP hingga untuk pemenangan Djarot - Sihar di Pilgubsu 2018

Jaksa penuntut umum KPK membacakan tuntutan untuk Pangonal dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, Sumatera Utara, pada Senin, 11 Maret 2019.

"Meminta agar majelis hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara ini, untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, dengan menjatuhkan hukum selama delapan tahun penjara," kata jaksa KPK Dody Sukmono.

Dody juga meminta terdakwa untuk uang pengganti hasil suap itu senilai sebesar Rp42,28 miliar dan 218.000 dolar Singapura. Jika tidak dibayar dan harta bendanya tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara maka diganti dengan hukuman penjara selama satu tahun penjara.

KPK menjerat Pangonal dengan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

"Untuk menghindari Indonesia dipimpin orang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi maka dipandang perlu memberi hukuman tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak dipilih selama 3 tahun dan 6 bulan," ujar Dody.

Dalam hal yang meringan terdakwa, Dody mengungkapkan bahwa Pangonal mengakui semua dilakukannya dalam kasus korupsi itu. Hal yang memberatkannya ialah dia dianggap tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi.

Pada sidang sebelumnya, Pangonal Harahap mengaku kerap meminta uang kepada pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi, Efendi Syahputra alias Asiong.

"Saya sudah lama mengenal baik Asiong. Bahkan kami su­dah duduk bersama membi­carakan tentang pembangu­nan Labuhanbatu ke depannya. Asiong adalah salah satu pem­borong besar dan mampu mem­perbaiki mutu pembangunan di Labuhanbatu dengan bagus," kata Pangonal saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan.

Pangonal meminta uang ke­pada Asiong untuk membayar utang kampanye pemilihan Bupati Labuhanbatu pada 2015 lalu, dan sebagai fee proyek. Ia mematok fee proyek 15 persen. "Saya suruh Yazid (adik ipar) dan Umar Ritonga (staf) untuk ambil uang dari Asiong," kata Pangonal.

Untuk kampanye pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sitar Sitorus pada pemilihan guber­nur-wakil gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu), Pangonal juga meminta uang ke Asiong.

"Saya sebagai ketua partai diberikan tu­gas untuk memenangkan Djarot- Sihar di daerah Labuhahan Batu saat Pilgubsu lalu. Saat itu saya tidak ada uang, sehingga meminta Rp 3 miliar sama ter­dakwa (Asiong) untuk kampa­nye Djarot-Sihar," kata mantan Ketua PDIP Labuhanbatu itu.

Asiong lalu memberikan dua lembar cek. Masing-masing bernilai Rp 1,5 miliar. Sehingga totalnya Rp 3 miliar. Namun saat dibawa ke bank, hanya 1 cek yang bisa dicairkan.

"Hanya bisa memenuhi Rp 1,5 miliar. Lalu saya perintahkan Thamrin (Ritonga) untuk me­nyampaikan ke Asiong untuk memikirkan tambahan uang, minimal Rp 500 juta. Thamrin lalu bertemu Asiong dan saya sudah berangkat ke Jakarta," tutur Pangonal.

Keterangan Pangolan sama seperti kesaksiannya anaknya, Baikandi Laodomi Harahap. Baikandi mengaku ia yang mengambil cek Rp 3 miliar dari Asiong.

"Untuk kepentingan tim sukses pemenangan Djarot-Sihar saat Pilgub Sumut yang lalu, serta membangun kantor PDIP Labuhan Batu," ungkapnya.

Thamrin Ritonga—yang juga menjadi saksi—mengaku di­suruh mengambil kekurangan dana kampanye Pilgub Sumut ke Asiong. "Atas perintah Pangonal Harahap. Uang Rp 500 juta," ka­tanya. Asiong memberi cek, yang kemudian dicairkan Thamrin di Bank Sumut.

Dalam sidang ini, Pangonal mengakui kesalahannya men­erima uang dari Asiong. "Jadi setiap ada proyek, saya menda­patkan keuntungan 15 persen dan intinya saya tidak pernah memaksa rekanan untuk mem­berikan fee itu kepada saya," kilahnya.

Pangonal berdalih tidak tahu Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, yang melarang penye­lenggara negara menerima suap maupun gratifikasi.

"Saya tak pernah memba­ca tentang Undang Undang Korupsi, Pak Hakim. Saya tidak memahami itu. Sumpah. Kan memang semua bupati-bupati seperti itu. Yang saya keta­hui kontraktor atau pengusaha itu diperbolehkan (kasih fee proyek)," kata Pangonal.

Dalam perkara ini, Asiong didakwa menyuap Pangonal Rp 38,882 miliar dan 218 ribu dolar Singapura. Asiong mem­berikan rasuah untuk menggarap proyek Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu tahun anggaran 2016, 2017 dan 2018.


Posting Komentar

0 Komentar