"Hiduplah di lingkungan yang lebih baik. Kendarai mobil terbaik. Tinggallah di rumah terbaik. Bikinlah tidak hanya tiga anak, tapi lima. Karena kalianlah masa depan Eropa. Itu akan jadi ganjaran terbaik atas ketidakadilan terhadap kalian," ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam sebuah unjuk rasa pekan lalu di Kota Eskisehir. Ucapan Erdogan itu ditujukan kepada sekitar 4,6 juta warga Turki yang tinggal di Eropa.
Belakangan ini sebagian rakyat Eropa meyakini ancaman Islamisasi di Benua Biru itu nyata. Hal yang sebetulnya berlebihan namun Erdogan, dengan agenda politiknya, semakin membuat rakyat Eropa geram dan para pemimpin mereka berang.
Pekan lalu presiden Turki itu menuding Uni Eropa telah memulai 'perang salib dan bulan sabit' setelah Pengadilan Eropa mengizinkan para pemberi kerja untuk meminta pegawainya tidak memakai hijab.
Tak cukup sampai di situ. "Turki bukan negara yang bisa kalian tarik dan dorong semaunya. Turki bukan negara yang warganya bisa kalian seret-seret," kata dia kepada wartawan di Ankara Rabu lalu.
Menanggapi teror di gedung parlemen Inggris beberapa hari lalu Erdogan seolah mendapat bahan untuk kembali mengecam Eropa.
"Kalau mereka masih tetap begini, tidak akan ada sejengkal tanah pun yang aman di Eropa. Eropa akan hancur oleh ini (serangan terorisme)," kata Erdogan, seperti dikutip Bloomberg, Jumat lalu.
Para tokoh yang meniupkan isu Islamisasi di Eropa ini di antaranya adalah Geert Wilders, politikus sayap kanan Belanda. Wilders menyebut saat ini yang tengah terjadi di Eropa adalah penjajahan muslim gelombang ketiga. Yang pertama terjadi pada 732 Masehi dengan pasukan bersenjata, yang kedua pada 1683, dan ketiga dengan cara terselubung, lewat isu imigran dan pertumbuhan penduduk.
Isu Islamisasi lewat pertumbuhan penduduk itu seolah memang cocok dengan ucapan Erdogan yang menganjurkan warga Turki untuk punya lebih banyak anak di Eropa.
Bukan hanya itu, Erdogan juga akan merangkul Aceh sebagai pusat Islam di Asia Tenggara.
Dalam sebuah debat di parlemen Belanda, Widers pernah bilang, para imigran muslim di Eropa saat ini adalah kolonial. Mereka datang ke Benua Biru bukan untuk membaur tapi mengambil alih, menundukkan kita, kata dia.
Gagasan demikian juga muncul dalam sebuah novel karya pengarang Prancis yang terbit pada 1973 silam, Kamp Orang-orang Suci. Novel ini menjadi buku favorit Marine Le Pen, tokoh sayap kanan Prancis yang kini maju dalam pencalonan presiden.
Di dalam novel itu digambarkan bagaimana Prancis dijajah secara budaya tanpa senjata oleh gelombang pengungsi yang memanfaatkan kelemahan negara Barat untuk mengambil alih kekuasaan.
Erdogan barangkali tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang 'sultan yang menjajah Eropa' atau 'pemimpin perang salib versus bulan sabit' semacam itu. Dia tidak punya cukup banyak pendukung di Jerman, Belanda Belgia atau di negara lain di Eropa, di mana warga Turki sudah membaur dengan penduduk setempat sejak mereka diterima sebagai kelas pekerja usai Perang Dunia Kedua.
Namun ucapan-ucapan Erdogan tampaknya cukup berhasil memicu kemarahan warga Benua Biru dan para pemimpin mereka. [pan]
2 Komentar
Mantappp .. turki dan pemimpin2nya
BalasHapuspopulis ya seperti itu gayanya. Susahnya golongan tertentu suka dengan isu yang dibawa populis. Nanti klo erdogan dapat angin...jadilah kemunculan orang-orang seperti jamn hitler. Yang korban yah rakyat lagi.
BalasHapus