Warga gusuran Kampung Pulo yang menetap di Rusun Jatinegara Barat sedang dilanda harapan sekaligus kecemasan. Mereka disodorkan Surat Perjanjian Sewa baru oleh pengelola Rumah Susun untuk memperpanjang masa sewa selama dua tahun ke depan.
Kebanyakan masa sewa rusun jatuh tempo pada September, Oktober, dan November 2017. Sementara, syarat untuk mendapatkan Surat Perpanjangan Sewa adalah pelunasan tunggakan sebelumnya. Masalahnya, banyak dari mereka masih memiliki banyak tunggakan sewa. Kebanyakan warga bekas gusuran Kampung Pulo merupakan keluarga miskin.
Edi (62), korban gusuran Kampung Pulo, mengaku sudah 16 bulan belum membayar sewa di Tower A Rusun Jatinegara Barat. Pensiunan pegawai swasta itu mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan bekerja sebagai Marbot atau petugas di masjid di sekitar Rusun Jatinegara Barat.
Biaya sewa di rusun tersebut diistilahkan dengan iuran pemeliharaan lingkungan. Besarannya mencapai Rp300 ribu per bulan. Selain itu, ada tambahan biaya air Rp5.000 per meter kubik.
Sementara, pekerjaannya sebagai Marbot itu menghasilkan gaji sebesar Rp. 400 ribu-500 ribu per bulan. Belum lagi ia harus menanggung biaya hidup empat orang anak. "Berat, mas," keluhnya, kepada CNNIndonesia.com, saat berbincang di teras Rusun Jatinegara Barat, Jakarta, Selasa (31/10).
Lebih jauh, Edi mengaku kehidupan keluarganya di Rusun selama dua tahun pasca penggusuran semakin berat. Tinggal di rusun, katanya, tak ada yang gratis. Iuran keamanan, air, hingga listrik, ditanggung sendiri. Padahal, menurutnya, saat awal kepindahannya ke Rusun, Pemerintah menjanjikan subsidi.
"Dulu saya hidup tenang punya rumah sendiri, sekarang pusing memikirikan biaya-biaya sewa selama disini, belum lagi mikirin makan," ujar dia.
Edi juga mengaku kecewa belum mendapatkan hak kompensasi ganti rugi atas rumah yang digusur pemerintah saat itu. Baginya, penerintah hanya 'manis di bibir'.
"Dulu Jokowi pas kampanye Pilpres (2014) pernah bilang ke warga Kampung Pulo kalau 'Kandang ayam dan pohon pun akan kita ganti'. Tapi nyatanya, sekarang enggak ada kita terima sepeserpun," ketusnya.
Senada, ia kecewa dengan perlakuan Gubernur DKI berikutnya, Basuki T. Purnama alias Ahok, yang justru disebutnya semakin mencekik leher warga Kampung Pulo akibat biaya sewa di Rusun. Belum lagi jika ia mengingat perlakukan Satpol PP yang bertindak kasar saat mengeksekusi rumahnya.
Edi terkenang dengan kebahagiaannya saat hidup bersama keluarga di rumah milik sendiri di Kampung Pulo meski sering kebanjiran. Meski begitu, ia berharap Pemprov DKI memenuhi janjinya untuk membayar hak ganti rugi rumahnya itu sebesar Rp 60 juta.
Di tempat yang sama, Gunawan (50), mengaku menunggak biaya sewa rusun selama 1 tahun. Pria yang sehari-harinya membuka layanan servis elektronik ini mengaku berat untuk membayarnya di tengah jasa perbaikan barang elektronik miliknya sepi pesanan. Hal ini berbeda saat ia masih di Kampung Pulo dengan pesanan yang melimpah.
Baginya, pengenaan iuran sewa penghuni Rusun adalah tak masuk akal. Pemerintah dianggapnya hanya ingin mengambil keuntungan di atas penderitaan warga yang tergusur.
"Saya kan dulu punya rumah, hidup gratis. Lah ini, disuruh tinggal di Rusun, suruh bayar. Dimana logika matematikanya pejabat itu? Cuma untung doang pikirannya," cetus dia.
Senada, Gunawan juga mengaku biaya ganti rugi atas rumahnya yang digusur pemerintah belum diganti seluruhnya. Ia menaksir harga rumahnya di Kampung Pulo Rp 40 juta. Ia mengaku Pemerintah pernah mendata warga gusuran untuk diberikan ganti rugi.
Kini Gunawan, Edi, dan eks warga Kampung Pulo lainnya sedang mencari cara untuk melunasi sisa tunggakan sewa yang belum dibayar. Salah satunya, cicilan Rp 10 ribu per hari dengan sistem tabungan.
"Sekarang saya mengajak warga buat sedikit-sedikit menabung, 10 ribu kita kumpulin buat disetor ke pengelola, agar tak berat," ujar Gunawan. (cnn)
0 Komentar