Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Begini Sepak Terjang Perjuangan Malahayati


Pemerintah mengesahkan penganugerahan empat pahlawan nasional baru. Total, pahlawan nasional Indonesia saat ini berjumlah 173 orang. Jumlah itu terdiri atas 160 laki-laki dan 13 perempuan.

DARI atas kursi rodanya, perempuan sepuh itu menerima plakat gelar dari Presiden Joko Widodo dengan perasaan campur aduk. Antara haru, gembira, dan bangga.

Sebab, plakat tersebut seolah membawa sang penerima, Teungku Putro Safiatuddin Cahya Nur Alam, melewati lorong waktu ratusan tahun. Menemui sang leluhur kebanggaan keluarga, Malahayati.

”Kami dari pihak keluarga sangat bahagia atas diresmikannya Malahayati sebagai pahlawan nasional,” kata Putro, keturunan ke-45 perempuan Aceh tersebut.

Ya, plakat yang diserahkan presiden di Istana Negara, Jakarta, kemarin (9/11) itu merupakan tanda disahkannya Laksamana Malahayati –wafat 402 tahun lalu– sebagai pahlawan nasional.

Selain dia, tiga nama lain yang mendapat pengesahan serupa adalah almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Madjid (Nusa Tenggara Barat), almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan almarhum Prof Drs Lafran Pane (Jogjakarta).

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, dengan penganugerahan empat pahlawan nasional baru tersebut, pahlawan nasional Indonesia saat ini berjumlah 173 orang. Jumlah itu terdiri atas 160 laki-laki dan 13 perempuan.

”Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan pemerintah kepada seorang warga negara Indonesia (WNI) yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya.

Khofifah menambahkan, pahlawan nasional bukan hanya yang berjasa di medan perang. Sedangkan permohonan usul pemberian gelar pahlawan nasional kepada presiden disampaikan melalui Dewan Gelar.

”Sebelumnya diadakan verifikasi, penelitian, dan pengkajian melalui proses seminar, diskusi, serta sarasehan,” katanya.

Keumalahayati –atau cukup dipanggil dengan Malahayati– adalah sosok di balik ketangguhan armada Angkatan Laut (AL) Kesultanan Aceh pada masanya.

Ketangguhan perempuan kelahiran 1550 itu tersohor di kalangan penjelajah laut dunia pada masa tersebut. Dia pun diakui sebagai admiral atau laksamana AL perempuan pertama di dunia.

Keponakan Putro yang juga penulis buku Perempuan-Perempuan Aceh yang Bercahaya dalam Lintasan Sejarah, Datuk Pocut Haslinda Syahrul, menjelaskan, Malahayati memulai karir dengan mengikuti pendidikan admiral di Aceh.

Kala itu di Aceh sudah ada sekolah AL yang dibangun Kesultanan Turki. Kebetulan, keluarganya juga berlatar belakang militer.

”Ayahnya itu laksamana, kakeknya laksamana, buyutnya adalah sultan, sebelum zaman Sultan Iskandar Muda,” terangnya.

Karirnya terus meroket sebagai tentara. Malahayati juga pernah menjadi anggota badan intelijen istana di Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda.

Dalam perkembangannya, dia memilih mundur dari intelijen karena ingin ikut menghadapi Portugis di Selat Malaka. Karir militer itu pula yang menjadikan dia bersuami seorang laksamana.

Namun, sang suami wafat saat berperang melawan Portugis. Malahayati yang terpukul atas kematian suaminya mendapatkan ide untuk melampiaskan kekecewaan.

”Dia mengumpulkan 2.000 inong bale, janda-janda, untuk ikut berperang melawan Portugis di Malaka,” lanjutnya.

Pada 1606 Malahayati bersama Darmawangsa Tun Pangkat (Sultan Iskandar Muda) akhirnya berhasil mengalahkan armada laut Portugis.

Pasukan inong bale itu juga menjadi salah satu resimen tempur yang ditakuti di Selat Malaka. Misi mereka hanya satu, yakni melindungi Kesultanan Aceh dari serangan negara luar.

Hasilnya terlihat. Negara-negara luar tidak mampu menembus ketatnya penjagaan di perairan Aceh.

Termasuk Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda yang menemukan jalur laut baru dari Eropa ke Indonesia, tidak berkutik ketika hendak masuk ke Aceh.

Bahkan, Cornelis sendiri akhirnya terbunuh di tangan Malahayati. Dalam sebuah pertarungan satu lawan satu.

Jejak Malahayati yang masih disimpan keluarga tersisa pada sejumlah barang. Salah satunya kitab Alquran.

”Ada juga tempat menyimpan (perhiasan) emas,” ucap Putro. Sebelumnya nama Malahayati yang meninggal pada 1615 sempat dijadikan nama salah satu KRI.

KRI Malahayati 362 merupakan kapal perusak kawal berpeluru kendali kelas Fatahillah yang diluncurkan pada 1980.

Kini, dengan status Malahayati sebagai pahlawan nasional, Putro mewakili keluarga berharap pemerintah mau membuatkan museum untuk laksamana perempuan itu.

Juga mendirikan sekolah admiral Indonesia di Aceh. ”Supaya banyak pengikutnya yang bisa mengikuti jejak Laksamana Malahayati,” tutur Putro. (jpnn)

Posting Komentar

0 Komentar