Yusril : Segelintir Non Pribumi Kuasai 74% Tanah di Indonesia!


Pakar Hukum Tata Negara Profesor Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang non pribumi yang jumlahnya hanya 0,2% dari total penduduk Indonesia.

“0,2% orang Indonesia menguasai 74% tanah di Indonesia melalui konglomerasi, PT ini PT itu, real estate, pertambangan, perkebunan sawit, HPH. Ini hanya menunggu bom waktu, apalagi yang 0,2% itu maaf-maaf kalau pakai bahasa lama itu non pribumi” ujar Prof Yusril.

Pernyataan Prof Yusril tersebut pernah disampaikan dalam acara Indonesia Lawyer CLub (ILC) beberapa waktu lalu. Dalam kesempatan tersebut Prof Yusril sedang mengungkapkan evaluasi kinerja Presiden Joko Widodo yang sangat buruk

Ekspansi dan penguasaan lahan besar-besaran yang dilakukan beberapa pengembang dan pemilik modal lainnya selama dua dekade terakhir mencerminkan ketidakbecusan negara dalam menata ruang dan menata wilayahnya.

Pemerintah pusat dianggap kalah cepat dari pengembang dan terlalu lambat bergerak dalam mengantisipasi konsekuensi globalisasi yang terjadi. Saat arus dana asing mengalir deras, sementara di satu sisi lahan di Jadebotabek terbatas dan harganya melonjak, pengembang melakukan terobosan dengan mencari lahan di kawasan lain yang harganya jauh lebih murah.

Konglomerat-konglomerat properti macam Ciputra Group, Agung Podomoro Group, Sinar Mas Land Group, dan Lippo Group, sekadar menyebut nama, pintar mengonversi situasi keterbatasan lahan dan ketidaktegasan pemerintah menjadi peluang. Alhasil, mereka "mengangkangi" ribuan bahkan puluhan ribu hektar lahan di beberapa kawasan di seluruh Indonesia.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), Panangian Simanungkalit, pernah mengemukakan fenomena penguasaan lahan ribuan hektar oleh pengembang dan pemilik modal tersebut kepada Kompas.com, edisi Jumat (5/12/2014).

"Jangan salahkan pemerintah daerah (pemda) karena mereka akan senang-senang saja menerima dana masuk dari pengembang dan investor properti. Pemda akan menerima mereka, bahkan menggelar karpet merah karena ada dana investasi," tutur Panangian.

Dia melanjutkan, penguasaan lahan oleh segelintir konglomerasi itu juga merepresentasikan bahwa pemerintah tidak punya visi jauh ke depan. Pemerintah, kata Panangian, tidak berpikir bahwa dengan dikuasainya lahan oleh pengembang, harganya bakal melonjak gila-gilaan. Kalau sudah demikian, jangan berharap mimpi mengatasi ketimpangan perumahan rakyat bisa terwujud.

"Situasi bakal bertambah parah saat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) justru menggabungkan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dengan perumahan Rakyat (Pera). PU saja punya masalah menumpuk, yakni infrastruktur dasar yang belum terpenuhi, bagaimana kemudian mau berpikir tentang backlog 15 juta unit rumah rakyat?" tandas Panangian.

Jokowi, tambah Panangian, harus segera membuat badan otoritas khusus untuk mencegah ekspansi pengembang dalam menguasai lahan secara besar-besaran.

Sementara Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia, Bernardus Djonoputro, berpendapat, dikuasainya lahan oleh pengembang dan pemilik modal sebagai ekses ketidakaturan dan amburadulnya manajemen pertanahan (land register dan land management).

"Pemerintah harus secara serius melakukan agenda reformasi pertanahan (land reform), pendataan dan manajemen tanah menuju rezim statutory system yang mumpuni," tutur Bernardus.

Reformasi pertanahan, lanjut dia, juga harus disertai dengan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan sebagai panglima pemanfaatan lahannya. Dengan begitu, distribusi ruang dan tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara dalam pemerataan kemakmuran. 

Posting Komentar

0 Komentar