Sebentar lagi Ramadan tiba. Kebutuhan beras untuk zakat fitri akan meningkat secara luar biasa. Pertanyaannya: bisakah zakat fitri digunakan untuk menjadi pembela petani pribumi?
Kalau ada 200 juta muslim yang berzakat fitri 2,5 Kg beras, maka pada bulan Ramadan ada kebutuhan beras zakat fitri sebesar 500.000 ton.
Kalau satu hektar sawah menghasilkan 5 ton, beras untuk zakat fitri bisa dipasok dari hasil panen petani dengan lahan seluas 100.000 hektar. Bila setiap petani memiliki lahan 2 hektar, zakat fitri akan menggerakkan ekonomi 50.000 keluarga petani. Bila setiap petani mempekerjakan 5 buruh tani, ada 250.000 buruh tani yang menikmati berkah zakat fitri.
Angka tersebut dalam skala nasional. Bila diperkecil ke zona provinsi, kabupaten dan kecamatan, akan ditemukan rasio-rasio yang lebih realistis. Sesuai jumlah muslim dan jumlah luas lahan serta kapasitas produksi beras rata-ratanya.
Wacana membeli beras petani pribumi untuk memenuhi kebutuhan zakat fitri saya lontarkan dalam sesi diskusi para amil Lazismu se Sulawesi Selatan di Makassar, Sabtu siang.
Saya 'memprovokasi' agar Lazismu Sulsel bisa menjadikan zakat fitri tidak sekedar menyediakan beras yang mungkin dari impor. Tapi beras asli produksi petani pribumi. Sebagai bentuk 'perlawanan' terhadap kebijakan impor beras yang 'tidak ramah' dengan petani dalam negeri.
Bisakah? Secara teori bisa. Lembaga amil zakat selama ini menerima zakat fitri dari masyarakat dalam bentuk uang. Uang itu kemudian dibelikan beras. Disalurkan kepada mustahik. Paling lambat sebelum masuk waktu salat Idul Fitri.
Mekanisme pembelian itulah kuncinya. Pihak mana dan beras apa yang akan dipilih? Petani pribumi dengan beras hasil panen sendiri di desa-desa? Atau pedagang beras di kota yang menjual beras impor?
Kalau hanya sekedar memenuhi kebutuhan pembayar zakat fitri, lembaga zakat memang bisa saja membeli beras dari pedagang. Tanpa harus peduli asal berasnya. Yang penting berasnya ada. Dan cukup jumlahnya. Masuk harganya.
Tapi kalau pelayanan zakat fitri dilakukan dengan rasa simpati dan rasa peduli, membeli beras produksi petani pribumi jelas lebih baik. Ada keberpihakan yang nyata di sana. Ada multiple effect juga di dalamnya. Menggerakkan ekonomi desa. Secara nyata.
Bila dikomunikasikan dengan baik, saya yakin masyarakat muslim bersedia membayar zakat fitri dengan harga lebih mahal untuk beras petani lokal. Katakanlah harga beras konsumsi wajar Rp 10.000 per Kg, khusus untuk beras zakat fitri bisa ditawarkan dengan harga Rp 15.000 per Kg. Kelebiihannya adalah infak untuk pemberdayaan kaum dhuafa di desa-desa.
Lembaga zakat memang tidak bisa menolak beras impor. Tapi lembaga zakat bisa bersikap tegas membela petani yang menjadi korban kebijakan importasi. Lewat program 'beli beras petani pribumi untuk zakat fitri'. Masyarakat membutuhkan lembaga zakat yang tegas dan berani membela petani. Walau sikap itu beroposisi.
(Joko Intarto, sebuah gagasan)
1 Komentar
bagaimana cara mengetahui merek beras yang impor dan beras milik indonesia sendri?
BalasHapus