Di puncak bukit Rawabi, Palestina. Sebuah bendera berukuran besar berkibar tertiup angin. Di bawahnya ada sekitar sepuluh bendera dengan ukuran lebih kecil juga berkibar mengikuti arah angin.
Persis di bawah tiang bendera paling besar, ada enam patung yang terbuat dari logam. Keenam patung itu menggambarkan sebuah keluarga tengah bergandengan tangan dengan posisi membelakangi Ateret, sebuah pemukiman warga Israel di seberang Rawabi.
Dikutip dari The Globe and Mail, posisi keenam patung yang membelakangi Ateret di bawah bendera Palestina yang berkibar tentu bukan hal yang kebetulan saja. Ateret adalah permukiman pertama Israel di Tepi Barat yang direbut dari Yordania saat perang enam hari pada 1967. Sejak itulah Israel terus melakukan pendudukan di wilayah Palestina.
Sahdan. Pendudukan Israel atas Palestina sebenarnya sudah terjadi sejak 1897 atau 70 tahun sebelum perang enam hari pada 1967. Ketika itu sekelompok orang Yahudi membentuk Organisasi Yahudi Internasional. Organisasi ini untuk mendampingi pemulangan orang Yahudi yang tersebar di sejumlah penjuru dunia kembali ke daerah yang mereka anggap sebagai, "tanah yang dijanjikan" yakni Palestina. Padahal bangsa Palestina sudah mendiami tempat tersebut berabad-abad lamanya.
Pada 1918, dicetuskan deklarasi Balfour yang digagas Menteri Luar Negeri Inggris James Balfour. Deklarasi ini menyetujui rencana pemulangan bangsa Yahudi tersebut sekaligus membantu realisasinya. Hal ini memicu terjadinya konflik antara Palestina dengan Israel.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 membagi wilayah barat Palestina menjadi dua negara. Di tanah Palestina pada 14 Mei 1948 Israel kemudian memproklamirkan kemerdekaannya. Hal ini memicu kemarahan para pemimpin Arab.
Israel terus memperluas wilayah pendudukannya. Setahun setelah mereka mendirikan negara, Israel sudah mengontrol 78 persen wilayah Tepi Barat Palestina yang diperebutkan. Pada 1967 Israel berhasil merebut wilayah di Tepi Barat yang sebelumnya dikuasai Yordania dan Mesir.
Ketika itu Israel mendirikan dua permukiman di Tepi Barat, tepatnya di Kota Kfar Etzion dan Talpiot bagian timur. Wilayah pendudukan Israel di Tepi Barat terus meluas. Adapun wilayah Palestina kian menipis.
Bahkan Google Map pada 2016 sempat tak mencantumkan negara Palestina. Yerusalem yang selama ini menjadi wilayah dengan status quo dimasukkkan menjadi milik Israel.
Mengetikkan kata Yerusalem di aplikasi google map maka aplikasi itu akan memberikan deskripsi negara Israel di kotak penulisan lokasi. Keterangan inilah yang memicu cercaan bagi google di berbagai media sosial. Akun @Abdulla34012667 menampilkan tangkapan layar bahwa google menuliskan Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
"Apa apaan ini google... #Americatherealterorist #Jerusalem_is_the_capital_of_palestine #JerusalemIsPalestine," tulis akun itu.
Namun ketika detikcom mencoba sendiri mengetikkan kata Yerusalem ke mesin pencari google, tidak ada deskripsi mengenai ibukota Israel. Begitu pula ketika menuliskannya di pencarian google map. Hanya saja aplikasi itu menuliskan Yerusalem dengan keterangan Negara Israel.
Tak hanya aplikasi peta google saja yang memberikan keterangan mengenai kota Yerusalem ini. Aplikasi penunjuk jalan Waze dan peta Bing menuliskan keterangan yang sama dengan google map.
Tudingan atas keberpihakan Google kepada Israel pernah mengemuka pada 2016 lalu. Google dianggap sengaja menghilangkan negara Palestina di peta buatan mereka. New York Times menyebutkan tudingan ini berawal dari pendukung Palestina hingga mereka mengajukan petisi online. Di Twitter-pun hashtag, #PalestineIsHere, mengemuka.
Juru Bicara Google, Elizabeth Davidoff, membantah penghapusan Palestina itu. Hanya saja keterangan wilayah West Bank dan Gaza Strip sempat hilang karena ada gangguan. "Kami bekerja secepatnya agar mengembalikan keterangan ini," ucapnya dalam pernyataan perusahaan.
Situs berita wired.co.uk, menuliskan google map memberikan tanda garis putus-putus di Jalur Gaza dan Tepi Barat untuk menandai wilayah tersebut sebagai masih dalam perselisihan. Palestina tetap terdata sebagai negara namun dalam fakta singkatnya, google map memberikan keterangan negara di Timur Tengah antara Laut Tengah dan Sungai Yordan yang status politiknya masih dalam perdebatan.
Media ini mencatat keberpihakan google kepada Palestina pada 2013 lalu. Raksasa teknologi ini mengubah tagline beranda dari 'Wilayah Palestina' menjadi 'Palestina'. "Kisah baru ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang kekuatan perusahaan teknologi dan bagaimana teknologi pemetaan mereka membentuk pandangan dunia kita," tulis media itu.
Jejak negara Palestina di Google Map boleh saja terhapus. Faktanya di dunia nyata, tepatnya di Rawabi, bendera Palestina kokoh berkibar. Tak jauh dari tiang bendera itu, Fadi dan Suheir Salameh sedang menikmati senja sambil minum teh dan mengamati anak-anak mereka yang bermain di taman. Sepasang suami istri itu tengah merencanakan sejumlah perabotan yang akan digunakan untuk mengisi hunian baru mereka. Sambil menatap bendera Palestina yang berkibar, Fadi berujar," Kota ini harus sukses."
Sejarah Konflik Israel Palestina
Bagi bangsa Israel, Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (The Promised Land) kepada mereka. Klaim sepihak itu, menurut Abdul Wahab Almessiri, seorang intelektual Mesir, merupakan penegasan bahwa tidak ada bangsa lain yang berhak menduduki Palestina kecuali umat pilihan Tuhan.
Israel mengklaim, merekalah umat pilihan Tuhan tersebut. Tidak peduli, apakah sebelum dan sesudah mereka hidup bangsa-bangsa lain di sana. Atas nama Tuhan, tanah Palestina adalah mutlak milik mereka.
Banyak pihak menilai klaim Israel itu berlebihan. Faktanya, memang demikian. Secara historis, jauh sebelum bangsa Israel ada, Palestina yang dahulu dikenal dengan nama Kanaan telah dihuni bangsa-bangsa kuno. Mereka mempunyai kebudayaan yang cukup maju. Penggalian arkeologis di beberapa Kota Kanaan, seperti Megiddo, Hazor, dan Sikhem, menemukan situs-situs, perabotan, keramik, dan permata. Benda-benda itu diperkirakan dibuat sebelum abad ke-17 SM.
Menurut Karen Armstrong dalam bukunya Jerusalem: Satu Kota Tiga Iman menyatakan, tidak banyak informasi tentang negeri Kanaan sebelum abad ke-20 SM. Namun, banyak bukti yang menguatkan pernyataan bahwa Bangsa Kanaan lebih dahulu mendiami Palestina.
Prod Dr Umar Anggara Jenie, kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan, Kota Jerusalem merupakan bukti yang paling baik dalam kekunoaan permukiman-permukiman bangsa Arab--semistis purba di Palestina--yang telah berada di sana jauh sebelum bangsa-bangsa lainnya datang. Kota ini didirikan oleh suku-suku Jebus, yaitu cabang dari bangsa Kanaan yang hidup sekitar 5000 tahun lalu.
''Yang pertama mendirikan Jerusalem adalah seorang raja bangsa Jebus-Kanaan,'' ujarnya dalam sebuah seminar tengang Yahudi dalam 'Perspektif Alquran dan Realitas Sejarah', beberapa waktu lalu.
Bahkan, setelah abad ke-20 SM, tercatat raja-raja Mesir telah berhasil menguasai Kanaan secara politik dan ekonomi. Salah satu tempat yang menarik perhatian penguasa Mesir adalah Gunung Ophel, karena gunung itu membuka akses ke Padang Pasir Yudea.
Selain punya posisi strategis di bidang ekonomi dan politik, Gunung Ophel menjadi pusat praktik-praktik pemujaan terhadap dewa. Di sebelah selatannya terdapat Gunung Zion, yang beberapa abad kemudian diklaim Bani Israel sebagai tempat suci yang dijanjikan Tuhan. Dengan demikian, kepercayaan tentang kesucian sebuah gunung sudah ada sejak lama di Kanaan, bahkan sebelum Bani Israel tiba di negeri itu.
Penyembah dewa-dewa meyakini gunung-gunung di Kanaan merupakan tempat bersemayamnya para dewa mereka. Gunung Ophel, Zaphon, Hermon, Karmel, dan Tabol, semuanya dianggap suci. Apakah ini berarti bahwa Bani Israel yang menganggap kesucian Gunung Zion terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan kuno di Kanaan? Untuk menjawabnya perlu kajian yang lebih mendalam.
Namun, ada sedikit titik terang yang disebutkan oleh Armstrong, yaitu adanya kesamaan beberapa Mazmur Ibrani (kumpulan nyanyian keagamaan dan puji-pujian dari kitab Zabur) dengan himne-himne penduduk Kanaan kuno. Mazmur yang muncul itu berupa pemujaan terhadap Tuhan yang menobatkan Israel di Gunung Zion.
Memang, jelas Armstrong, para penyembah berhala Kanaan kuno punya tradisi mendaki tempat-tempat yang tinggi, untuk dapat merasakan bahwa mereka seolah telah berada di tengah-tengah antara langit dan bumi. Mereka membayangkan bertemu dengan dewa-dewa, seperti dewa Shalem, Baal, dan El.
0 Komentar