IRONIS! Memang, judul ini sedikit keras, sekeras kepala batunya orang Papua dan sekasar-kasarnya orang Papua. Apa adanya, tanpa tedeng aling-aling dan munafik. Kami juga bukan manusia tipe kedondong tetapi tipe durian. Kasar di luar halus di dalam. Kami tidak perlu dipaksa berlanggam Jawa terlihat seperti halus, terlihat harmoni. Namun kasar dan keji.
Jokowi sampai saat ini tidak pernah bicara tentang persoalan manusia dan bagaimana menyelamatkan manusia Papua serta menghentikan kejahatan kemanusian dan menciptakan prospek perdamaian.
Jokowi lebih banyak eksploitasi penderitaan infrastruktur tentang Nduga sebuah kabupaten kecil di Papua yang memang satu-satunya ruas jalan hasil keringatnya selama 4 tahun di Papua dan sebuah pasar mama-mama senilai 50 miliar, sebuah proyek kecil yang bisa saja dibangun oleh Pemerintah Kota Madya Jayapura sendiri.
Lebih ironis! Bahwa eksploitasi infrastruktur di Nduga ternyata bukan sekedar pembangunan yang luhur dan niat yang tulus. Hari ini rakyat Nduga berada dalam teror dan ancaman karena operasi militer yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Masyarakat Alguru berada dibawah kepungan militer. Hari ini 3 sipil di Keneyam dibantai karena operasi militer.
Berbagai hasil penelitian oleh lembaga kredibel internasional telah menyatakan adanya ancaman pemusnahan etnis Papua secara perlahan (slow motion genocide) dan genocida yang diabaikan (neglected genocide in west Papua).
Kedua laporan yang dikeluarkan baik oleh gereja Katolik Brisbane Australia juga oleh Amnesti International ini juga melengkapi berbagai laporan lainnya termasuk laporan-laporan penyelidikan Komnas HAM RI.
Sekarang sudah tidak bisa dibendung lagi bahwa Papua sudah berada dalam genggaman dunia internasional. Papua setelah lebih dari 50 tahun berada dalam sunyi dan bisu sebagai arena pembantaian yang tersembunyi karena negara pandai menutupi semua kejahatan kemanusiaan yang terus menerus berlangsung.
Dunia internasional mengenal Papua adalah pulau terbayang (tera incognita), arena tragedi terlupa (killing filed in the darkness atau blank spot). Kemajuan teknologi informasi yang bergerak cepat secara bebas hambatan menembus batas wilayah negara (borderless nations) telah membuka berbagai kedok dan kejahatan dan tragedi kemanusiaan di Papua yang telah berlangsung lama dan kebencian masif pada Indonesia semakin hari makin solid.
Apakah Indonesia akan tetap bertahan? Pertanyaan ini untuk dijawab, tetapi juga hanya sekedar untuk bisa di renungkan. Di lihat dari sudut pandang historiografi dan kartografi politik, maka Indonesia adalah negara yang paling labil dan memiliki potensi disintegrasi politik paling mungkin di dunia.
Problem hak asasi manusia adalah faktor terpenting yang mengancam keutuhan NKRI atau Indonesia bubar 2030, bahkan sebelumnya. Tesis ini paling mungkin karena hari ini kita berada di era milenium kemanusiaan (human right milenium) di mana pilar demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian menjadi pilar penting.
Siapa yang bilang kalau Jokowi tidak memiliki catatan kelam atau catatan buram sebagai seorang yang dapat diindikasikan sebagai pelaku pelanggar HAM berat selama 4 tahun kepemimpinan, jika dilakukan penyelidikan secara profesional dan imparsial?
Dilihat dari kebijakan dan tindakannya dalam memimpin negeri ini selama 4 tahun sederet kasus pelanggaran yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan Jokowi jika dilihat dari perspektif hukum HAM:
1. Kasus Paniai tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasu dalam kategori pelanggaran HAM berat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko Widodo. Jokowi menitipkan peristiwa kelam baru bagi bangsa ini. Sebagai kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.
2. Adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif rezim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).
3. Dugaan terjadinya genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil penyelidikan beberapa lembaga internasional, menguatkan dugaan Jokowi sebagai kepala negara, dengan sadar atau sengaja (by commision) melakukan pembiaran (by ommision).
Hasil penyelidikan keuskupan Brisbane Australia menyatakan secara fakta terjadi genocida perlahan (slow motion genocida in west Papua) di Papua. Demikian pula amnesti internaional juga menyatakan genocida yang disembunyikan di Papua (neglected genocida in west Papua).
Laporan kejahatan kemanusiaan ini telah mendunia dan Indonesia telah dikategorikan sebagai pelaku utama pembatain di tanah Papua. Peristiwa Rasialisme yang didorong atas dasar kebencian Etnis atau Papua Phobia atau Melanesiaphobia tidak hanya terjadi di Papua. Berbagai teror terhadap mahasiswa Papua di hampir seluruh kota studi di pulau Jawa termasuk peristiwa Obi di Yogya, Malang, Surabaya dan lainnya telah menujukkan ancaman kesalahan terhadap mereka.
4. Berbagai operasi militer di Papua yang berlangsung terus menerus bersendikan keamanan. Operasi militer justru menimbulkan berbagai korban di rakyat sipil. Penangkapan, penahanan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil juga terus menerus menyertai dalam operasi militer hampir seluruh Papua. Berbagai peristiwa operasi militer sebagaimana terjadi di Timika, Nduga, Paniai, Wamena Barat, puncak Papua, Seluruh wilayah perbatasan.
Tindakan 1 dan 4 ini mengancam integritas nasional. Kita menyaksikan sendiri Pemerintah kepemimpinan Jokowi didemo di luar negeri sebagai penjahat kemanusiaan terhadap rakyat Papua. Berbagai kritikan oleh orang asing juga di dalam negeri menunjukkan bahwa kredibilitas Jokowi sudah mulai mulai hancur.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika faktor kepemimpinan sangat menentukan sebagai perekat bangsa, mampu mengontrol secara baik, tidak membohongi dan mengumbar janji, tidak mengejar citra, tidak haus kekuasan dan jabatan. Pemilihan umum sudah dekat, negara harus mencari solusi untuk menciptakan tanah Papua damai, aman, tenteram dan sejahtera. Oleh karena tabiat pemimin sekarang ini adalah pemimpin tanpa simpati kemanusiaan di Papua, maka Indonesia harus mencari figur yang tepat dan mampu membawa perubahan baik demokrasi, perdamaian dan hak asasi manusia di tanah Papua. (***)
Penulisa adalah mantan Komisioner Komnas HAM, aktivis kemanusiaan
(rmol)
0 Komentar