Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengungkapkan, total persetujuan impor beras periode 2018 kepada Perum Bulog (Persero) hingga saat ini mencapai 2 juta ton.
Berdasarkan catatan Bisnis, persetujuan impor beras untuk Bulog tahap I dan II telah keluar pada Februari dan Mei 2018, di mana masing-masing berjumlah 500.000 ton.
“Untuk persetujuan impor III tahun ini sebesar 1 juta ton dan akan habis masa berlakunya pada akhir Agustus. Bulog sendiri telah meminta izin diperpanjang masa berlakunya hingga 30 September 2018,” katanya kepada Bisnis, Rabu (15/8/2018).
Sementara itu, apabila menilik data proyeksi The Food and Agriculture Organization (FAO), impor beras Indonesia pada tahun ini diperkirakan hanya mencapai 1,5 juta ton, atau naik dari rekor terendahnya pada 2017 lalu sebesar 320.000 ton.
FAO menyebutkan, izin pengadaan beras dari luar negeri tersebut diterbitkan pemerintah guna mengendalikan potensi kenaikan harga tahun ini.
Secara terpisah, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso menyebutkan, impor beras tambahan belum dibutuhkan. Pasalnya, pada masa panen kedua tahun ini (Agustus-September), pasokan beras dari petani akan mencapai 16 juta ton atau 40% dari target tahun ini sebesar 40 juta ton.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menolak rencana pemerintah untuk menambah volume impor beras sebesar 1 juta ton.
Menurutnya dengan impor tersebut akan mematahkan semangat petani yang sedang menikmati harga gabah kering panen yang lumayan yakni Rp4.500—Rp5.000 per kg.
HARGA BERAS
Sementara itu, berdasarkan data dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan World Bank, perbedaan harga acuan beras dunia dengan harga beras Indonesia terus melebar. Indonesia bahkan menjadi negara dengan harga beras paling mahal se-Asia Tenggara. (lihat grafis)
Dwi memaparkan, impor memang bukanlah solusi jitu untuk meredam atau menurunkan harga beras. Pasalnya, lanjutnya, tata kelola beras Tanah Air terlampau buruk yang berdampak pada tingginya harga produksi.
“Beras ini harga produk yang paling berpengaruh, ketika produk ini naik maka barang lain ikut naik. Alhasil, upah buruh tani ikut naik, sehingga ongkos produksi pun ikut terkerek,” ujarnya.
Situasi itulah yang membuat harga beras terus berada pada posisi stabil tinggi dan semakin sulit untuk turun kembali.
Kondisi itu diamini oleh ekonom Indef Rusli Abdullah. Dia menilai, dengan amburadulnya tata kelola pertanian nasional dan banyaknya mata rantai distribusi beras, membuat harga beras akan terus naik.
“Belum lagi luasan lahan produksi kita yang memang terbatas dan banyaknya komponen pertanian seperti pestisida dan pupuk yang bahan bakunya harus diimpor, sehingga sangat rentan terpapar nilai tukar rupiah” ujarnya.
0 Komentar