MERINDING juga mendengar kabar dari Palembang. Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya mengungkap rendahnya animo masyarakat menggunakan LRT atawa Light Rail Transit. Akibatnya, infrastruktur kebanggan Presiden Joko Widodo itu menjadi beban.
Sampai hari ini, pemasukan dari LRT Palembang hanya Rp 1 miliar per bulan, padahal biaya operasi kendaraan ular besi itu mencapai Rp 10 miliar tiap bulannya. Itu maknanya ada gap Rp 9 miliar yang harus disubsidi pemerintah.
Mawardi cenderung menyalahkan pemerintah pusat atas kondisi itu. Dia bilang kajian proyek LRT Palembang sangat dangkal. Selain itu, proyek ini terkesan dikerjakan asal jadi. Harus selesai sebelum pembukaan Asian Games pada Agustus tahun 2018 lalu.
Panjang lintasan LRT Palembang sekitar 23,5 km, menelan biaya Rp10,9 triliun. Duit sebanyak itu amatlah tinggi bagi Sumsel. APBD provinsi ini saja untuk tahun anggaran 2019 cuma Rp 9,7 triliun.
Dengan jumlah penduduk kota saat ini lebih kurang 1,8 juta jiwa, Palembang belum butuh LRT. Moda angkutan massal seperti LRT biasanya dioperasionalkan di kota-kota penduduknya sangat padat, dinamis serta bermobilitas tinggi.
Moda transportasi ini juga dibutuhkan jika kaum kelas menengah, termasuk kaum profesionalnya telah dominan, karena mereka akan sangat tergantung pada moda transportasi cepat untuk mencapai pusat-pusat kegiatan ekonomi dari kediaman masing masing.
Kota Palembang belum seperti itu. Hasilnya, LRT Palembang tak mampu mendorong masyarakat beralih ke angkutan massal. Walhasil, pendapatan LRT dari penjualan tiket juga tidak bisa menutupi biaya operasional. Lagi pula, LRT ini tidak terkoneksi dan tidak terintegrasi dengan terminal bus, pasar rakyat, pelabuhan dan stasiun kereta api. LRT hanya terkoneksi dengan bandara dan mal.
Nasi sudah menjadi bubur. Kini, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menyelamatkan fungsi ideal atas nasib LRT Palembang ke depannya.
Kita patut miris mendengar kondisi itu. Soalnya, proyek yang dikerjakan PT Waskita Karya pada tahun 2015 ini dibiayai dengan duit utang. Ya, utang dari China Development Bank (CDB), salah satu konsorsium BUMN Cina. Bank ini menggelontorkan doku kepada pemerintah Indonesia sebesar 5,1 juta dolar AS, tanpa jaminan.
Cerita itu bermula ketika lahir PT Kereta Api Cepat Indonesia-China. Ini adalah perusahaan hasil kongsi BUMN China dengan BUMN Indonesia. Pemegang sahamnya 75 persen BUMN China dan 25 persen BUMN Indonesia. BUMN Indonesia itu terdiri PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dan PT Jasa Marga Tbk.
Jebakan Itu
Kongsi BUMN kedua negara tadi tak lepas dengan ambisi China dengan gagasannya yang bertajuk OBOR atau One Belt, One Road yang kemudian berubah menjadi Belt and Road Initiative atawa BRI. Negeri Panda ini menyediakan dana satu triliun dollar untuk memulai BRI.
Dana ini dipinjamkan ke negara-negara yang dilalui oleh jalur sutra abad 21 ini. Mereka ‘diwajibkan’ membangun infrastruktur yang diperlukan BRI. Termasuk jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan pusat-pusat industri.
Negeri Tirai Bambu itu mengucurkan pinjaman ke negara-negara tersebut. Dalam perjalanannya, tidak semua negara mampu membayar utang pokok dan bunga pinjaman lunak itu.
Mulailah sejumlah negara menjadi gagal bayar. Ada delapan negara yang menonjol sebagai gagal bayar, yaitu Djibouti, Tajikistan, Kirgistan, Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan Montenegro.
Ujung dari cerita itu, China menyita proyek vital negeri-negeri tersebut. Sri Lanka yang tak mampu mengembalikan utang 1,5 miliar dolar AS diminta untuk menyerahkan pengelolaan pelabuhan utamanya kepada China dengan perjanjian sewa 99 tahun. Selanjutnya, angkatan laut China memakai pelabuhan itu.
Djibouti bernasib sama. Pelabuhan di negara kecil Afrika ini diambil alih China, juga digunakan untuk angkatan laut mereka. Dan, tidak hanya dua negara ini saja yang gagal bayar.
Pakistan juga punya utang macet kepada China. Jumlahnya sebesar 6 miliar dolar AS, antara lain dipakai untuk membangun pelabuhan Gwardar. Kini, pelabuhan itu hendak dijadikan China sebagai pangkalan gabungan angkatan laut dan udara.
Selanjutnya Montenegro, negara kecil di Eropa Timur. Penduduknya cuma 630.000 jiwa. China memberi pinjaman 950 juta dolar AS untuk membangun jalan tol sepanjang 150 km. Itu aneh, soalnya dua studi kelayakan menyimpulkan jalan tol ini tidak diperlukan Montenegro. Tetapi, para pejabat Partai Komunis China bisa meyakinkan Montenegro bahwa jalan tol itu sangat penting.
Proyek Palembang tak jauh berbeda dengan proyek negara-negara itu. LRT belum diperlukan namun dengan dorongan duit utang tadi dibangunlah LRT di sana. Proyek sejenis adalah LRT Jakarta juga proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan ke depannya akan ada lima kota di Indonesia yang bakal meniru Palembang. Kota itu di antaranya Medan, Batam, Bandung, Surabaya dan Makassar. Semua atas biaya China.
Proyek infrastruktur di bawah skema BRI China yang direncanakan bakal menelan biaya 201,6 miliar dolar AS atau Rp2.700 triliun. Tiga proyek di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Kalimantan Utara dicadangkan untuk masuk dalam proyek BRI. Termasuk di antaranya proyek Bandara baru Yogyakarta di Kulonprogo yang akan menelan biaya sekitar 700 juta dolar AS.
Kini China telah menjadi sumber utama tempat meminjam bagi Indonesia, setelah Singapura dan Jepang. Per Oktober 2018, jumlah utang Indonesia ke China sebesar Rp 252,5 triliun atau 17,47 miliar dolar AS.
Kita patut waspada dengan utang itu. Soalnya, kini total utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 5.080,95 triliun atau 360,53 miliar dolar AS. Jadi memang bikin merinding. [***]
Miftah H. Yusufpati
Wartawan Senior
0 Komentar