Lukman Hadi, seorang guru SD di Lombok, menuliskan kisah-kisah luar biasa. Tentang kemanusiaan. Dan gotong royong antar sesama korban gempa. Meski bantuan dari luar tak kunjung sampai. Meski pemerintah takut menetapkan bencana nasional.
-------
Hari itu kami sengaja menyisakan 1 buah terpal dan 10 kg beras saat pulang menyalurkan bantuan. Kami mendapat info, ada seorang ibu yang tidak pernah mendapat bantuan sama sekali. Di seputaran Desa Sambik Elen, Kecamatan Bayan. Selalu kalah cepat dengan pengungsi lainnya.
Sebabnya. Dia memiliki anak kecil yang harus selalu digendong, dan suaminya lumpuh. Dia tidak bisa jauh-jauh dari rumah bergabung dengan pengungsi lainnya di pinggir jalan. Dia harus menjaga si kecil dan suaminya. Mereka membuat tenda sederhana berbahan kain yang disambung-sambung di sekitaran rumah.
Di pinggir jalan dia menunggu. Ditemani seorang bapak, karena sudah malam. Seorang bapak yang sangat ramah. Ternyata bapak itu juga sedang mengungsi, tapi tendanya dipinggir jalan. Saya tawari bapak itu beras. Dibagi dua dengan si ibu. Dengan rendah hati bapak itu menolak. Mohon maaf katanya. Bukan saya tidak terima. Tapi ibu ini lebih membutuhkan.
Terkejut saya melihat reaksi bapak itu. Disaat pengungsi-pengungsi yang lain berebut bantuan, malah dia menolak demi orang lain. Dengan sigap dia juga membantu mengangkat beras yang 10 kg, digendongnya beras itu. Saya peluk pundaknya, saya katakan dia orang yang luar biasa. Jarang saya menemukan orang seperti dia.
***
Seorang netizen menghubungi saya via inbok. Ingin menyumbang untuk korban gempa. Saya terima dengan senang hati. Karena saya memang sedang menggalang bantuan untuk itu.
Tapi saya heran saat dia menanyakan di mana dia bisa menitipkan dana bantuannya. Tumben ada orang bertanya seperti ini. Biasanya penyumbang itu menanyakan nomor rekening.
Penasaran saya tanya di mana posisinya. Dia jawab Rempek. Rempek di atas bukit kecamatan Gangga, Lombok Utara itu? Iya jawabnya. Lho bukankah Gangga merupakan salah satu kecamatan yang paling parah di guncang gempa? Dia iyakan lagi dan mengatakan mereka semua sekarang sedang mengungsi.
Lalu mengapa mau nyumbang? Kampung saya rata dengan tanah pak, termasuk rumah saya. Di sini tidak ada apa-apa lagi. Termasuk tempat belanja. Atau orang yang di suruh pergi belanja. Dari pada uang yang saya pegang tidak bisa dimanfatkan, lebih baik saya salurkan agar bisa dimanfaatkan untuk korban gempa di tempat lain.
Termenung saya mendengarkan penjelasannya. Tidak mungkin saya tega mengambil sumbangannya. Saya tidak menyangka masih ada manusia-manusia berhati mulia seperti ini. Seandainya saya di posisinya, rumah hancur, mengungsi, kedinginan, kelaparan. Makan satu kali sehari demi menghemat beras. Belum tentu saya bisa berfikir seperti itu.
Mutiara tetaplah mutiara, emas tetaplah emas. Kapanpun dan bagaimanapun kondisinya. Di manapun ia berada. Di balik reruntuhan dan puing-puing sekalipun. *LBS*
Gambar:
1. Puing-puing rumah si berhati emas dari desa Rempek.
2. Baju orange adalah bapak berhati emas mendampingi si ibu saat pendokumentasian
0 Komentar