SAMPAI saat ini masih ada orang yang heran dan mempertanyakan kenapa sebagian besar umat Islam mendukung Prabowo Subianto.
Jutaan umat Islam yang datang dalam aksi Reuni 212 semuanya merupakan pendukung calon presiden nomor urut 02 ini. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat datang dengan sukarela tanpa dibayar. Bahkan tidak sedikit di antara mereka adalah orang-orang yang berkecukupan secara ekonomi, tingkat pendidikan tinggi, dan karier bagus termasuk di pemerintahan.
Apalagi kerap disebut-sebut bahkan dibesar-besarkan pihak lawannya bahwa Prabowo tidak punya track record sebagai pejuang Islam. Pengetahuan Islamnya juga diragukan. Karena Prabowo memang bukan orang yang lahir dari lingkungan organisasi atau pendidikan Islam.
Keheranan semakin bertambah karena calon wakil presiden yang mendampingi saingannya, Joko Widodo, adalah seorang ulama. Tak sekedar menguasai ilmu agama secara mendalam, KH Maruf Amin menyandang jabatan puncak dalam organisasi keulamaan Tanah Air. Yaitu Ketua Umum MUI Pusat. Juga menjabat Rais Aam PB Nahdlatul Ulama, sebelum akhirnya mengundurkan diri karena maju sebagai cawapres.
Dalam pemberitaan media, Prabowo memang mengakui dirinya lahir dari keluarga abangan, sebuah istilah yang merujuk kepada orang-orang yang beragama Islam tapi tidak taat, termasuk juga minim pengetahuan agama. Tapi Prabowo bukan berarti tidak mempelajari Islam. Ustad Ansufri Idris Sambo salah satu gurunya.
Tapi jangan lantas lalu mau dibandingkan Prabowo dengan Kiai Maruf. Bahkan dengan gurunya saja, mungkin masih jauh di bawah Kiai Maruf dalam kepakaran ilmu agama Islam. Karena itu pula dukungan umat kepada Prabowo mengundang tanya.
Sementara soal kepedulian dan perjuangan terhadap Islam secara khusus, publik mungkin tidak banyak mencatat dan mengetahui. Namun perjuangan dan tekadnya dalam memajukan dan membangkitkan rakyat Indonesia, yang sebagian besar adalah umat Islam, tidak perlu diragukan kalau melihat gerakan dan pidato-pidatonya selama ini. Rakyat pun mendukung. Terbukti dengan terus meningkatnya dukungan rakyat kepada partai yang ia dirikan. Sehingga Gerindra masuk dalam tiga besar hasil Pemilu 2014.
Meski demikian, Prabowo punya kedekatan dengan kelompok, tokoh dan pimpinan umat Islam, yang selama ini merasa terpinggirkan. Bahkan sejak masih aktif sebagai tentara. Sampai akhir tahun 1980-an era Orde Baru, militer yang sangat berpengaruh dan menentukan kebijakan pemerintah saat itu misalnya, dikuasai oleh para perwira-perwira yang tidak ramah kepada umat, termasuk di lingkaran TNI sendiri. Misalnya Jenderal Maraden Panggabean, Letnan Jenderal Ali Moertopo, Jenderal LB Moerdani, dan Laksamana Sudomo.
Para perwira Angkatan Darat yang menunjukkan simpati mereka kepada Islam segera dikucilkan dari lingkaran elite. Sebagai hasilnya, Islam politik harus berhadapan dengan realitas baru transformasi ruang publik dari Orde Lama ke Orde baru serupa dengan transisi dari pendudukan Belanda ke penduduka Jepang, seperti yang diungkapkan dalam peribahasa keluar dari mulut buaya masuk ke mulut harimau (Latif, 2013).
Prabowo merupakan salah seorang yang berjasa menarik perwira ABRI Hijau ke lingkaran elite setelah disingkirkan kelompok Benny Moerdani. Misalnya Jenderal Feisal Tanjung dan Jenderal Raden Hartono, yang masing-masing kemudian menjadi Panglima ABRI dan KSAD. ABRI Hijau adalah tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam. Feisal Tanjung dan R Hartono sama-sama dari keluarga Muhammadiyah.
Kedekatan Prabowo terhadap kelompok dan tokoh-tokoh umat Islam berlanjut hingga saat ini. Bahkan Prabowo merupakan calon presiden hasil dari ijtima' ulama. Para ulama yang dikomandoi Habib Rizieq Cs tersebut adalah penggerak utama umat Islam dalam aksi besar 212. Umat ikut arahan para ulama karena sudah melihat konsistensi mereka dalam membela dan menyuarakan keresahan umat, termasuk apabila harus berhadapan dengan pemerintah dan aparat.
Belum lagi kalau merujuk hasil temuan Lingkaran Survei Indonesia yang dipublikasi pada 15 November 2018 lalu terkait ulama yang berpengaruh terhadap pemilih. Yaitu ada lima ulama. Mereka berdasarkan urutan teratas adalah Ustaz Abdul Somad, Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Yusuf Mansur, Aa Gym dan Habib Rizieq. Selain Yusuf Mansur, semuanya mendukung Prabowo dengan gradasi yang berbeda-beda.
Soal Habib Rizieq yang berada di urutan kelima memang sempat dipertanyakan sejumlah kalangan. Karena sampai Ustaz Somad dan Ustaz Arifin sendiri sebelumnya mengaku menunggu komando Habib Rizieq terkait Pilpres 2019. Namun yang jelas, LSI mengungkap ulama jauh lebih berpengaruh kepada pemilih dibanding tokoh masyarakat, politisi, dan pengamat.
Para ulama menjadi panutan karena mereka tidak hanya berbicara soal ibadah atau agama dalam pengertian yang sempit. Tapi juga berani berbicara dan menyuarakan ketidakadilan.
Diskursus keagamaan adalah diskursus yang terlatih membuka borok-borok kehidupan sosial. Ketenaran tokoh-tokoh mimbar agama praktis semuanya didasarkan pada keberanian mereka membuka berbagai aib dan ketimpangan kehidupan sosial. Hanya dengan menyingkap semua itu dan mengarahkan kehidupan pada suatu jalan yang lebih mulia tokoh-tokoh ini bisa memperoleh tempat di hati umat (Pabottingi, 1991).
Selain para ulama yang berani berbicara berbagai persoalan nyata yang dihadapi umat Islam, Prabowo juga didukung oleh para aktivis dan anak muda yang sudah terbukti track recordnya selama ini dalam menyuarakan kebenaran dengan berbagai risiko dan tantangan. Seperti mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, yang mempunyai pendukung tidak hanya di internal persyerikatan tersebut.
Karena itu, umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya yang mendukung Prabowo adalah mereka yang selama ini merasakan adanya ketidakadilan selama Pemerintahan Joko Widodo ini. Mereka berharap adanya perbaikan kehidupan berkat pergantian Pemerintahan pada Pemilihan Presiden 2019 ini. Karena itu tidak heran kalau #2019GantiPresiden sudah sejak lama bergaung.
Jumlah umat yang merasa Jokowi tidak memiliki keberpihakan tak bisa dianggap sebelah mata. Terbukti dengan besarnya jumlah umat Islam yang ikut dalam aksi Reuni 212 dan tingginya kerisauan dan kekhawatiran Jokowi terhadap citra anti-Islam yang dilekatkan kepadanya. Ini bisa dilihat dari gencarnya Jokowi mengunjungi komunitas-komunitas umat Islam dan menampilkan dirinya sosok yang Islami. Dibesar-besarkan pula oleh pendukungnya bahwa dia rajin shalat bahkan menjadi imam dan juga rajin puasa Senin-Kamis. Termasuk menggaet Kiai Maruf Amin adalah dalam rangka untuk menutupi lobang tersebut.
Namun, hal itu tidak berpengaruh karena yang dikunjungi dan tokoh yang digaet Jokowi bukan representasi umat Islam yang merasa adanya ketidakadilan tersebut. Apalagi Kiai Maruf sendiri sebenarnya adalah bagian dari pemerintahan sendiri. Mengingat jabatannya sebagai anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), lembaga yang kehadirannya sejak awal menuai kontroversi dan semakin disorot karena terkait gaji yang fantastis.
Karena itulah Kiai Maruf Amin tidak memberikan insentif elektoral kepada Jokowi. Yang ada malah menggerus suara Jokowi, seperti yang diungkap sebuah lembaga survei beberapa waktu lalu. [***]
Zulhidayat Siregar
Alumni 212
0 Komentar