Ketua Abilindo Wajan Sudja mengatakan, sebagian besar pembudidaya kerapu dari Aceh sampai Tual bangkrut. Padahal semua pembudi daya merupakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Menurut dia, biang keladi kebangkrutan ini adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15 Tahun 2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup. Aturan ini membatasi akses pasar pembeli ikan kerapu hidup dari Hong Kong.
"Permen itu membatasi jumlah titik muat, hanya boleh satu titik per trip. Kapal buyer hanya boleh muat di empat titik per izin SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan). Padahal ada 200 kabupaten penghasil ikan kerapu hidup," ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Kebijakan itu juga membuat bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) sekitar Rp 1 triliun untuk membeli 15 ribu Keramba Jaring Apung High Density Polythylene (KJAHDPE) untuk dibagikan ke 200 kabupaten se-Indonesia. Begitu juga dana triliunan rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk riset dan pengembangan teknologi budi daya ikan kerapu sejak 1985.
Permen KP 32 menabrak beberapa aturan. Misalnya Pasal 11 Undang-Undang No 17 Tahun 2018 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah (PP) No 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan yang membolehkan kapal asing muat di lebih dari 1.200 pelabuhan dan terminal khusus. Permen ini juga bertentangan dengan Pasal 3 UU Perikanan yang mengamanatkan kesejahteraan rakyat.
"Usaha rakyat yang membuka lapangan kerja bagi 220 ribu kepala keluarga dan menghasilkan 90 juta dolar AS devisa bagi negara kenapa dibangkrutkan Pemerintah Jokowi," tutur Wajan.
Dia menegaskan, sampai saat ini permintaan kerapu dari China masih tinggi. Sayangnya, ekspor justru anjlok dari 6.500 ton di 2014 menjadi 1.000 ton di 2017. Penurunan itu lantaran Permen tersebut.
Saat ini, total daya angkut armada kapal khusus pengangkut ikan hidup berukuran 270-500 gross tonnage (GT) milik buyer dari Hong Kong yang berizin dari KKP hanya ada 13 unit. Setahun hanya ada 10 trip dan satu kali trip hanya 30 ton. Sangat sedikit sekali yang bisa diekspor.
Sementara yang bisa dikirim melalui pesawat hanya 3 persen saja. Itu hanya untuk ikan kerapu tikus, sunu, dan napoleon yang harganya di atas 40 dolar AS per kg. Biaya kirim ikan dengan pesawat itu sekitar 7,5 dolar AS per kg, sedangkan dengan kapal hanya 20 persennya, 1,5 dolar AS per kg.
Menurut Wajan, ikan kerapu murah, seperti jenis macan, cantang, maupun cantik hanya 7-12 dolar AS. Kerapu jenis tersebut tidak ekonomis dikirim dengan pesawat. "Karena akses dibatasi, kapal buyer tidak bisa datang lagi untuk berbelanja ikan kerapu hidup di 85 persen lokasi budidaya. Akibatnya pembudi daya ikan kerapu bangkrut," tegasnya.
Dirjen Sumber Daya Perikanan KKP Slamet Subiyakto mengatakan, dibentuknya Permen KP 32 semata-mata untuk mendongkrak perekonomian. Apalagi aturan ini sangat pro terhadap pelaku usaha lokal dalam mengembangkan bisnisnya.
"Tujuannya untuk memperlancar perdagangan kerapu. Juga mendorong usaha cargo dalam negeri, mendorong produsen kapal dalam negeri untuk memproduksi galangan kapal angkut ikan hidup," tuturnya.
Slamet menjelaskan, Permen KP 32 merupakan perubahan dari Permen KP 15 Tahun 2016. Setiap poin perubahannya sangat jelas untuk menggenjot perdagangan kerapu. Sebut saja ukuran kapal yang dirombak lebih besar.
Saat ini bobot kapal angkut ikan hidup mencapai 500 gross tonnage (GT) dari semula 300 GT. Frekuensi kapal asing yang masuk ke perairan Indonesia juga ditambah menjadi 12, dari semula 6 kali dalam setahun.
Bukan hanya itu, buyer ikan kerapu hidup lebih dimanjakan dengan beragam pelabuhan. Sehingga akan lebih banyak produksi pembudi daya ikan kerapu yang terangkut untuk dijual. ***
0 Komentar